My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Thursday, August 17, 2006

Trapped - A Stormy Night

“Sampai jumpa besok!”

Teriakan serupa terdengar bergema di daerah di mana tempat bimbingan belajar itu berada. Saat itu sudah malam, tapi murid-murid baru saja selesai mengikuti sesi pelajaran mereka dan baru diperbolehkan pulang saat itu. Teriakan mereka terdengar terburu-buru, karena semuanya langsung berlari bagaikan sekelompok semut berpencar begitu mereka berada di luar tempat itu. Hujan badai akan datang sebentar lagi, dan mereka harus cepat tiba di rumah mereka.

Seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari bangunan bimbingan belajar itu langsung berlari menuruni bukit di mana bangunan tersebut berada. Ia berlari seakan-akan seekor monster raksasa mengejarnya di belakang, dan akan menangkapnya bila ia berhenti sesaat saja. Sesekali ia menengadahkan kepalanya ke atas, dan melihat bahwa awan badai sudah semakin padat, menandakan bahwa badai akan tiba tidak lama lagi, dan ia harus cepat mencari tempat berlindung.

Ia berlari melewati hutan yang membentang, memisahkan bangunan bimbingan belajar itu dari pusat kota. Meskipun ia berlari dengan cepat, ia tetap hati-hati, sehingga ia tidak tersandung batu ataupun akar pohon dan terjatuh. Ia sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya, terlebih lagi saat itu hutannya gelap sekali. Apakah karena ia sudah biasa melakukannya?

Tiba-tiba saja ia melihat secercah cahaya dari sampingnya, dan seketika itu juga ia menghentikan langkahnya, membentangkan tangannya dan berpegangan erat pada sebatang pohon yang besar dan kuat supaya ia tidak terjatuh karena berhenti tiba-tiba.

Setelah memastikan bahwa ia tidak akan terjatuh meskipun ia melepaskan pegagannya pada pohon tersebut, ia berdiri tegap, dan berjalan menghampiri sumber cahaya yang dilihatnya tadi, yang tertutup oleh lebatnya pepohonan di hutan itu.

Setelah melewati sekelompok pohon lebat yang ada di hutan itu, ia akhirnya mengetahui apa yang menjadi sumber cahaya itu. Sebuah bangunan raksasa bagaikan istana berdiri tegap di tanah datar yang ada di hutan itu, memberikan cahaya ke sekelilingnya karena seluruh lampu di dalamnya menyala. Pagar rumah tersebut terbuka, dan berderit-derit tertiup angin, bagaikan tangan yang melambai-lambai ke arah anak tersebut, mengajaknya untuk masuk ke dalam.

Anak itu menelan ludahnya, dan berjalan menghampiri rumah raksasa itu. Badai akan datang sesaat lagi, dan ia membutuhkan tempat untuk berteduh, karena tempat tinggalnya berada jauh dari situ. Jauh sekali.

Ia membuka pagar besi itu lebar-lebar, tidak mengacuhkan derit pintu besi yang sudah karatan, dan menutupnya di belakangnya segera setelah ia berjalan masuk ke dalam lingkungan rumah itu. Ia menengadahkan kepalanya ke atas sekali lagi, dan melihat bahwa sekarang cahaya-cahaya kilat sudah mulai bermunculan di langit malam. Badai sudah tidak lama lagi.

Ia membuka pintu sebelah kanan dari pintu ganda yang membatasi bagian dalam rumah tersebut dengan bagian luarnya, dan berjalan masuk, sebelum ia kembali menutup pintu rumah itu di belakangnya. Meskipun terlihat menyeramkan dari luar, bagian dalam rumah itu tidak terlalu buruk.

Di bagian depan terdapat sebuah ruang tamu yang dihiasi beberapa lukisan dinding dan sebuah lampu kristal. Di tengah ruangan tersebut terdapat satu perangkat sofa yang semuanya menghadap ke arah sebuah perapian. Dari sana, terdapat sebuah lorong panjang yang di sebelah kiri dan kanannya terdapat banyak sekali pintu dari kayu jati, dan di ujungnya terdapat tangga berbentuk spiral yang membawa orang-orang yang berada di rumah tersebut dari lantai pertama ke lantai kedua.

Anak itu menghembuskan napas lega, dan menyisir rambut hitamnya yang agak kusut dengan tangannya. Meskipun rambutnya pendek, karena sejak tadi rambutnya terus-menerus tersangkut ranting pohon yang panjang, rambutnya menjadi kusut. Tepat setelah ia selesai melepas semua ikatan kecil di rambutnya, ia mendengar suara petir yang menggelegar, dan suara hujan deras yang menghantam bumi seakan-akan hendak menghancurkan bumi dengan tekanannya.

“Badai datang lagi rupanya,”

Anak itu langsung menoleh. Ia kemudian bertemu muka dengan seorang wanita barat cantik yang memakai gaun berwarna merah darah. Bibirnya dan matanya berwarna sama dengan bajunya, membuat anak tersebut agak khawatir, tetapi ketika wanita tersebut tersenyum ramah ke arahnya dan mempersilakannya duduk di sofa di depan perapian yang sedang menyala, segala kekhawatirannya lenyap begitu saja, dan dengan senang hati ia menerima tawarannya.

“Apa kau ingin secangkir cokelat panas?” tawar wanita cantik itu sambil tersenyum ke arahnya, memegang sebuah nampan dengan secangkir cokelat panas di atasnya. Ia berjalan ke arah anak itu, dan membiarkan anak itu mengambil cangkir tersebut. “Cokelat itu akan membantumu merasa tetap hangat di tengah-tengah badai seperti ini.”

Anak itu mengambil cangkir cokelat tersebut dan tersenyum ke arah sang pemilik rumah. Setelah ia meminum habis cokelatnya, ia diperbolehkan beristirahat di rumah tersebut sampai badainya mereda, dan bila sampai malam hujannya belum juga mereda, ia boleh menumpang tidur di rumah tersebut dan menunggu sampai pagi baru pulang.

Saat pemilik rumah itu kembali lagi, ia berjalan masuk bersama seorang anak perempuan yang terlihat seumur dengan anak laki-laki tersebut. Ia memperkenalkan putrinya kepada anak itu, dan membiarkan mereka mengobrol sebentara sementara ia menyiapkan kamar tamu supaya anak itu bisa tidur.

“Kamu bukan dari daerah sini,” ujar anak perempuan itu sambil memperhatikan anak laki-laki itu dengan pandangan heran. “Dari mana kau datang?”

Anak laki-laki itu tersenyum mendengar pertanyaan anak perempuan itu, tetapi ia tidak menjawab. Ia hanya mengatakan bahwa bila tiba waktunya, ia akan memberitahukan anak perempuan itu jawaban dari pertanyaan tersebut.

Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya, dan berjalan menuju koridor tersebut, membawa anak laki-laki itu ke kamar tamu yang sedang disiapkan untuknya oleh ibunya. Di koridor tersebut juga tergantung banyak sekali lukisan, dan hampir semua lukisan itu adalah lukisan potret diri seseorang.

“Leluhurmu?” tanya anak laki-laki itu dengan lembut, memperhatikan tiap-tiap lukisan yang ada di sana dengan penuh minat. Semua foto yang terpampang di situ adalah foto wanita-wanita yang amat cantik.

Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya sambil menghentikan langkahnya. Ia menunjuk sebuah lukisan yang berada di ujung koridor, tepat sebelum tangga spiral menuju lantai dua. “Itu adalah lukisan ibu, tapi lukisanku tidak akan bisa dipajang di sini.”

Anak laki-laki itu menyadari bahwa sudah tidak ada tempat lagi di sebelah lukisan sang pemilik rumah, tapi hal itu aneh. Jarak antar lukisan di koridor itu agak jauh, dan ia yakin sekali lukisan-lukisan itu bisa dipindahkan agar lebih dekat sehingga lukisan anak perempuan itu bisa dipajang di sebelah lukisan ibunya nanti. Jadi, mengapa ia mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dilakukan?

Sang pemilik rumah baru saja hendak berjalan menuruni tangga spiral itu ketika ia melihat putrinya dan tamunya berdiri tepat di bawah tangga tersebut. Ia tersenyum ke arah anak laki-laki itu dan menyibak rambutnya yang panjang. “Kamarmu sudah siap. Mari kuantarkan ke kamarmu.”

Ketiganya berjalan menaiki tangga tersebut, dan berjalan menyusuri koridor di lantai dua. Mereka kemudian berhenti di depan sebuah kamar.

“Ini kamarmu untuk malam ini, semoga kamu menyukainya,” ujar wanita tersebut sambil menggandeng tangan putrinya. “Kamarku ada di ujung koridor ini, dan kamar putriku ada di lantai satu. Datanglah bila kau memerlukan sesuatu.”

“Baik,” anak laki-laki itu menyetujui dan melambai ke arah keduanya ketika keduanya berjalan menjauh darinya, melambai ke arahnya dan mengucapkan selamat tidur. Ia kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya, dan terkejut sekali melihat apa yang dilihatnya.

Di dalam ruangan yang amat besar itu, terdapat sebuah tempat tidur raksasa. Di sampingnya, terdapat sebuah lemari baju dengan ukiran antik yang dibuat dari kayu jati, dan sebuah meja kerja yang juga berukiran antik. Tirai di kamar itu berwarna jingga, membuat sinar jingga dari lampu neon yang ada di kamar itu terkesan alami.

Ia mendesah bahagia melihatnya, dan baru saja hendak melemparkan dirinya sendiri ke tempat tidurnya, ketika tiba-tiba seluruh ruangan itu berubah, menjadi sebuah sel tahanan dengan jeruji besi sebagai pintunya, dan batu sebagai temboknya. Jendela ruangan itu juga berubah menjadi lubang besar yang dipasangi jeruji besi, dan tempat tidur raksasa itu berubah menjadi setumpuk kain kasar sedangkan lemari dan meja kerja itu hilang begitu saja.

Terkejut saja tidak cukup untuk menjelaskan apa yang ia rasakan saat itu. Ia terkejut dan takut pada saat yang bersamaan. Rumah yang tadinya terlihat begitu ramah kini terlihat begitu menyeramkan, begitu dingin dan membuatnya merinding.

Ia berjalan keluar dari kamarnya, dan ketika ia hendak menuruni tangga spiral itu untuk keluar dari kamarnya, ia bertemu dengan sang pemilik rumah yang menghentikan langkahnya. “Hendak ke mana malam-malam begini? Badai masih belum berhenti.”

“Ya, tapi badai sudah mereda, dan sepertinya orang-orang mulai akan mencariku,” jawab anak itu sambil tersenyum semanis mungkin ke arah sang pemilik rumah.

“Oh, sayang sekali,” gumam sang pemilik rumah itu sambil tersenyum ke arah anak itu, “padahal aku ingin sekali meminum darah seorang anak kecil yang masih segar,” ujarnya, senyumnya bertambah lebar dan taringnya dapat terlihat dengan jelas.

Melihatnya, anak tersebut nyaris menjerit. Dengan segera ia berlari menuruni tangga spiral itu, berterimakasih kepada siapa pun yang ada di atas sana karena drakula tersebut memakai gaun sehingga ia tidak bisa menuruni tangganya secepat yang ia bisa.

Ia terus berlari menuju ruang depan yang kini juga sudah berubah menjadi gelap dan menyeramkan. Ia terhenti di tengah jalan ketika sosok putri pemilik rumah tersebut berjalan keluar dari rumahnya. Ia baru saja hendak memanggil anak perempuan itu, tapi ia terhenti ketika ia melihat bahwa anak perempuan itu sudah tidak berwujud manusia, melainkan tengkorak yang bergerak-gerak.

“Mau ke mana?” tanyanya, rahang atas dan rahang bawahnya beradu, membuat suara yang tidak mengenakkan. “Padahal aku senang ada yang mau datang berkunjung,” gumamnya.

“Jadi ini mengapa kamu tidak bisa memasang lukisanmu,” gumam anak laki-laki itu, “karena kamu sudah menjadi tengkorak?”

Tengkorak anak perampuan itu tertawa, membuat suara yang semakin tidak mengenakkan karena rahang atas dan rahang bawahnya beradu dengan lebih cepat. Ia kemudian mengangguk, tulang lehernya menekuk sedemikian rupa sehingga ia bisa mengangguk.

Anak perempuan itu mendengar suara langkah kaki ibunya di belakang mereka, dan dengan cepat menjulurkan tangannya yang hanya berupa tulang ke arah anak itu untuk menangkap anak itu dan memberikannya pada ibunya, tapi anak itu lebih cepat darinya.

Secepat mungkin, ia berlari menuju pintu depan rumah itu, dan baru saja hendak berlari keluar, ketika pintu tersebut terbuka, dan sesosok laki-laki tinggi bersayap hitam masuk ke dalam rumah itu, tangan kirinya menggenggam sebatang tombak sementara tangan kanannya berusaha merapikan rambut peraknya yang panjang dan lengket karena tersiram hujan badai di luar.

Anak itu menjerit ketakutan melihatnya. Pertama, ia bertemu dengan drakula, lalu tengkorak, dan sekarang dengan iblis bersayap hitam. Apa yang akan dilakukan mereka padanya sekarang?

Tiba-tiba saja laki-laki itu terlihat kesal dan ia memukul kepala anak laki-laki itu dengan tongkatnya. “Hei Dread, kalau ini hari biasa, aku pasti akan ikut bermain denganmu dan pura-pura ingin membunuhmu, tapi Misery dan Chaos membutuhkan kita sekarang juga.”

Anak laki-laki itu memperhatikan laki-laki itu dan mengangkat sebelah alisnya. Kepulan asap muncul, dan detik berikutnya, sebagai ganti anak laki-laki itu, berdirilah seorang laki-laki yang juga bersayap hitam dan membawa tongkat.

Drakula bersama anaknya itu menghentikan langkah mereka melihat perubahannya.

“Pantas aku merasa kamu dari dunia lain, bukan dari dunia manusia,” gumam putri drakula tersebut, dan Dread hanya menyeringai lebar ke arah anak perempuan itu.

“Oke deh, sampai jumpa! Senang juga bermain dengan kalian!” seru Dread sambil berjalan keluar dari rumah tersebut bersama temannya itu. “Lain kali akan kuusahakan tidak mengerjai kalian seperti saat ini lagi,” tambahnya sambil tertawa.

Temannya itu kembali memukul kepalanya dengan tongkatnya sebagai peringatan, dan ia melotot ke arahnya. Melihatnya, Dread hanya tersenyum kecil ke arah temannya itu.

“Aku mengerti, ayo pergi, Death.”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home