My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Friday, August 18, 2006

Snow Angels

Pada suatu sore hari, sebuah badai salju terjadi. Salju turun dengan lebatnya dan menutupi semua jalan yang ada dengan salju yang bertumpuk-tumpuk. Perapian di dalam rumah-rumah dinyalakan, dan makanan hangat serta minuman panas dibuat untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin di luar rumah mereka, yang disebabkan oleh badai salju itu.

Di sebuah panti asuhan kecil di pinggir kota, tinggallah dua orang laki-laki dewasa yang memiliki panti asuhan itu, dan dua orang anak laki-laki kecil yang kehilangan kedua orang tua mereka dan tidak mempunyai tempat tinggal.

Karena mereka ditinggalkan orang tua mereka sejak mereka masih muda, mereka tidak mendapatkan apa pun sebagai warisan dari orang tua mereka masing-masing. Anak laki-laki yang lebih tua ditemukan pemilik panti asuhan itu tiga tahun yang lalu, dan anak laki-laki yang lebih muda ditemukan pemilik panti asuhan itu dua tahun yang lalu.

Keduanya berteman dengan cukup baik karena hanya mereka bersama kedua pemilik panti asuhan itu saja yang tinggal di panti asuhan itu, dan karena mereka berdua senasib.

Malam itu, Hisane Kourin dan Kooku Kosuke, kedua pemilik panti asuhan itu, memasak makanan yang panas agar mereka tidak kedinginan. Mereka juga menyalakan perapian di dalam rumah itu. Keempatnya sudah seperti sebuah keluarga biasa. Hanya saja, kedua orang tuanya laki-laki.

Kishimoto Yamato, seorang anak laki-laki kecil berambut hitam pendek dan bermata hitam cemerlang melihat ke luar jendela dari ruang tamu rumah itu. Sesekali ia mengelap embun yang terbentuk di jendela itu dengan tangannya yang kecil, dan melihat ke luar, memperhatikan setiap kepingan salju yang jatuh ke tanah dan ikut bertumpuk dengan kepingan-kepingan salju yang lainnya yang telah jatuh terlebih dahulu.

Tsutawa Kirin, seorang anak laki-laki yang setahun lebih tua dari Yamato, memperhatikan Yamato dari balik kacamatanya yang cukup tebal. Keduanya berwajah cukup manis, dan mereka sering salah dikira perempuan, meskipun mereka tidak terlalu peduli.

“Yamato, Kirin,” panggil Kourin sambil berjalan menuju ruang tamu itu dan melihat keduanya duduk bersebelahan di sofa yang ada di pinggir ruangan, dekat dengan jendela yang menghadap keluar. “Saatnya makan malam,” ujarnya sambil tersenyum ke arah kedua anak kecil yang sudah seperti anaknya sendiri itu.

Memang tahun ini Yamato sudah berumur dua belas dan Kirin sudah berumur tiga belas, tetapi Kourin dan Kosuke masih menganggap mereka anak-anak.

“Baik,” jawab Yamato dan ia langsung berbalik dan berjalan menuju ruang makan yang ada di belakang, diikuti oleh Kirin yang hanya tersenyum kecil melihat Yamato yang benar-benar masih seperti anak kecil.

“Kirin,” panggil Kourin sebelum Kirin masuk ke dalam ruang makan. “Kapan kau akan memberitahunya tentang hal itu?” tanyanya sambil berbisik agar kedua orang yang sudah ada di dalam ruang makan itu tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Itu urusanku,” jawab Kirin cuek. “Maaf, aku tidak bermaksud tidak sopan, Kak Kourin,” ujarnya dengan cepat, karena ia merasa bahwa jawabannya berkesan sombong, dan tidak tepat berbicara seperti itu pada seseorang yang telah menjagamu.

“Tidak apa-apa,” jawab Kourin sambil menepuk kepala Kirin dan tersenyum. “Kau pasti punya pertimbanganmu sendiri ‘kan?” tanyanya.

“Ya,” jawab Kirin sambil mengangguk kecil.

“Kalau begitu, semuanya akan baik-baik saja,” ujar Kourin, dan ia berjalan masuk ke dalam ruang makan, diikuti Kirin yang hanya diam, memikirkan kapan waktu yang terbaik untuk memberitahunya hal itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Esok harinya, Yamato pergi ke luar rumah mereka untuk bermain salju. Karena rumah mereka terletak di pinggir kota, tidak banyak orang yang tinggal di situ sehingga ia bisa bermain dengan tenang, tanpa takut ada orang yang akan dengan iseng melemparnya dengan sebuah bola salju.

Ia berbaring di atas setumpuk salju, dan tersenyum, memperhatikan langit biru yang ada di atasnya. Ia merentangkan kedua tangannya di sisinya, dan mulai menggerakkan keduanya naik turun, perlahan-lahan membentuk figur seorang malaikat di atas salju yang ia tiduri itu. Itulah yang disebut dengan snow angel. Begitu kata seseorang yang amat ia sayangi dulu, ketika ia masih hidup dengan keluarganya di sisi lain kota.

-.-.-.-.-. flashback -.-.-.-.-.

Seorang anak kecil berambut hitam sedang berjalan bersama seorang anak laki-laki lainnya yang juga berambut hitam dan hanya sedikit lebih tinggi darinya. Mereka sedang berjalan pulang dari kunjungan mereka ke toko swalayan yang ada di dekat rumah mereka.

Ketika mereka sedang berjalan melewati sebuah lapangan kecil yang kosong di pinggir jalan, mereka melihat beberapa anak sedang bermain salju. Ada yang membuat boneka salju, ada yang bermain perang salju, ada yang membangun benteng salju, dan ada juga yang berbaring di atas salju dan menggerakkan tangan mereka naik turun.

“Kak Kirin,” panggil anak laki-laki kecil itu sambil menarik lengan jaket kakaknya untuk menarik perhatiannya. “Lihat,” ujarnya sambil menunjuk anak-anak kecil yang sedang berbaring di atas salju sambil dijaga oleh kakak mereka.

“Ya? Kenapa dengan mereka?” tanya Kirin sambil melihat ke arah anak-anak yang sedang bermain-main dengan riangnya di lapangan itu, tidak seperti mereka.

Orang tua mereka baru saja jatuh sakit, dan mereka harus menjaga mereka. Memang ibu mereka sempat menyuruh Kirin untuk menjaga adiknya saja dan pergi ke lapangan kosong di dekat rumah mereka untuk bermain, tapi keduanya menolak untuk melakukan hal itu, dan bersikeras ingin menjaga kedua orang tua mereka.

“Apa yang sedang mereka lakukan?” tanya Yamato.

“Mereka sedang membuat snow angels,” jawab Kirin sambil tersenyum dan mengacak-acak rambut Yamato.

“Sunoo Anjeeru?” tanya Yamato sambil mengedipkan matanya beberapa kali, tanda bahwa ia sedang kebingungan.

Kirin tertawa melihat reaksi adiknya. Ia melihat ke arah adiknya, dan berkata, “Yuki no Tenshi (Jepun: malaikat salju),”

“Oh,” gumam Yamato sambil memperhatikan anak-anak yang masih berbaring di atas salju itu. Memang kalau dipadu dengan jaket mereka yang panjang, figur yang mereka bentuk mirip dengan figur seorang malaikat.

“Ayo pulang,” ajak Kirin sambil menarik tangan Yamato, dan Yamato mengangguk kecil sambil berjalan bersama Kirin, meskipun ia masih tertarik dengan malaikat salju itu.

“Aku akan mengajarimu cara membuatnya nanti, ketika kita tiba di rumah,” ujar Kirin yang sepertinya mengetahui keinginan adiknya.

“Oke,” jawab Yamato dengan girang, dan mereka meneruskan perjalanan mereka pulang ke rumah.

-.-.-.-.-. end of flashback -.-.-.-.-.

Yamato tertawa kecil mengingat kenangan masa lalunya itu. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa ia menganggap Tsutawa Kirin kakaknya. Itu karena mereka berdua memiliki nama yang sama, Kirin. Kakaknya, Kishimoto Kirin, dan Tsutawa Kirin.

Ia terus menggerakkan tangannya naik turun, berusaha mengingat apa yang dikatakan kakaknya ketika ia mengajarinya bagaimana cara membuat malaikat salju itu, dan apa yang dikatakannya tentang kemampuan malaikat salju.

‘Gerakkan tanganmu naik turun untuk membuat siluet sayap,’ gumamnya dalam hati, ‘Dan…’

“Pisahkan kakimu dan gerakkan sedikit untuk membuat siluet kaki dan baju yang dikenakan malaikat itu,” ujar sebuah suara dari atasnya.

“Eh?” seru Yamato kaget sambil menengadahkan kepalanya ke atas, dan melihat Kirin, Tsutawa Kirin, berdiri di belakangnya sambil tersenyum.

“Sepertinya kau benar-benar anak yang pintar,” ujarnya sambil tersenyum dan membelai rambut Yamato.

“Ka- kakak? Ta- tapi…” ujar Yamato tergagap.

“Maafkan aku, Yamato,” ujar Kirin. “Setelah orang tua kita meninggal, aku dibawa pergi oleh Paman, dan akhirnya aku dibawa ke panti asuhan ini karena aku melarikan diri dari rumah paman untuk mencarimu,” jelasnya.

“Kenapa? Kenapa…” gumam Yamato, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaannya yang itu. Ia menghela napas panjang, dan bertanya, “Lalu kenapa… nama keluarga Kakak… Tsutawa?”

“Kamu tidak ingat nama keluarga Ibu?” tanya Kirin sambil tersenyum.

Yamato merasa seakan-akan ia baru saja disambar kilat. Ia baru ingat bahwa nama keluarga ibunya adalah Tsutawa sementara nama keluarga ayahnya adalah Kishimoto. Pantas saja ia merasa pernah mendengar nama Tsutawa ketika Kirin memperkenalkan dirinya pada Yamato dua tahun yang lalu, ketika mereka pertama kali bertemu kembali.

“Aku senang bisa bertemu lagi denganmu,” ujar Kirin sambil memeluk Yamato dengan erat. “Maaf, aku baru memberitahumu sekarang,”

“Tidak apa-apa,” balas Yamato. “Lebih baik terlambat daripada tidak, ‘kan?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

“Ya, terima kasih,” gumam Kirin.

Sementara itu, dari dalam rumah kecil mereka, Kourin dan Kosuke memperhatikan keduanya dengan senyum kecil mengembang di wajah mereka.

“Bila suatu hari nanti kau merasa sedih, buatlah malaikat salju. Mereka mempunyai kekuatan untuk mengabulkan permintaanmu,”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home