My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Friday, August 18, 2006

Of Love, War and Fate

Seorang putri terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Ia bangkit dari tempat ia tertidur, dan melihat sekelilingnya. Ia sedang berada di dalam sebuah sel tua dengan pintu yang terbuat dari besi tua yang sudah karatan. Di pintu itu terdapat lima lubang berjejer sehingga ia masih bisa melihat keluar.

Ia duduk di sebuah balok kayu besar tempat ia tertidur, dan duduk termenung. Jadi inilah yang dikatakan para tetua kerajaan.

Setiap generasi, satu putri dari keluarga kerajaan, putri yang dipilih oleh gelang giok pusaka kerajaan, harus dikurbankan di altar, atau kekacauan akan terjadi di dalam kerajaan itu. Itu adalah akibat dari perjanjian dengan setan yang telah dibuat nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu.

Kali ini mereka berusaha mengubah takdir, tapi apa daya. Para penduduk desa beserta sang putri malah diculik gerombolan musuh kerajaan dan dibawa ke sebuah pegunungan kecil dekat altar di mana sang putri seharusnya dikurbankan.

Ia mendengar suara riuh rendah di luar, dan diam-diam bertanya pada dirinya sendiri, apa gerangan yang sedang terjadi di luar, yang mengakibatkan suara ribut itu. Ia sadar bahwa ia memang harus dikurbankan, karena gelang giok itu telah memilihnya, tapi ia masih belum mau berpisah dengan kedua temannya yang adalah teman sepermainannya.

Ia mendengar suara besi beradu dengan besi, dan ketika ia menengadahkan kepalanya, ia melihat para penduduk desa yang berhasil melarikan diri dari sel tahanannya berusaha merusak pintu selnya dengan pipa besi.

“Putri! Apakah Anda baik-baik saja?” tanya seorang pemuda dari desa di depan istana. Ia terus berusaha merusak pintu itu bersama dengan para pemuda desa lainnya.

“Aku baik-baik saja,” jawab putri itu dengan tenang. “Bagaimana keadaan kalian?” tanyanya. Ia merasa bertanggung jawab akan penderitaan para penduduk desa yang ikut ditangkap bersamanya hanya karena keegoisannya.

“Kami baik-baik saja,” jawab pemuda itu meyakinkan.

Tidak lama kemudian mereka semua berhasil keluar dari ruang tahanan itu. Bersama-sama, mereka berjalan keluar, menuju daerah perbukitan yang dulunya asri, tapi sekarang telah berubah menjadi medan perang.

Setibanya di luar, sang putri melihat seorang kakek-kakek yang sudah kesusahan, tetapi tidak ada yang bisa menolongnya karena para pemuda yang masih muda dan cukup sehat sudah direpotkan oleh orang lain yang juga terluka.

“Putri Myrrh,” panggil kakek-kakek yang sudah tergeletak tidak berdaya di atas rerumputan itu ketika ia melihat sang putri berjalan keluar dari tempat tahanan itu. “Pergilah, ke altar para dewa yang terletak di balik bukit ini,” perintahnya dengan suara yang parau dan tersendat-sendat, seakan-akan ia sudah tidak bisa berbicara lagi.

“Tenanglah, Kek,” ujar Myrrh sambil berlutut di sebelah kakek-kakek itu. Ia merasa kasihan padanya. “Aku akan membawa Kakek ke tempat yang aman, dan akan menunaikan tugasku sebagai putri pilihan gelang pusaka ini,”

Ia membopong kakek itu, dan berjalan menuju pinggir bukit, di mana para pemuda berkumpul. Mereka membawa gerobak untuk membawa orang-orang yang sakit dan terluka karena perang itu ke kaki bukit untuk dirawat.

Myrrh melihat sekelilingnya, dan berjalan menghampiri temannya yang sedang berdiri sambil berbincang-bincang dengan seorang pemuda lainnya.

“Wayne,” panggil Myrrh, menyapa temannya yang sedang mengobrol dengan salah satu pemuda yang membawa gerobak untuk membawa orang sakit itu. Wajah pemuda itu sangat mirip dengan temannya yang satu lagi.

“Ah, Myrrh, akhirnya kau keluar juga,” ujar Wayne seakan-akan ia telah memprediksi keluarnya Myrrh dari sel tahanan itu.

Tanpa banyak omong, Myrrh menyuruh pemuda itu membawa kakek-kakek itu turun bukit untuk segera dirawat, karena menurutnya lukanya cukup parah, dan kakek itu telah kehilangan cukup banyak darah.

Myrrh sempat memperhatikan wajah pemuda itu untuk beberapa saat, dan ia terdiam. Ada suatu perasaan tidak mengenakkan yang terus-menerus mengganggu pikirannya, yang berusaha memberitahunya bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

Pemudia itu akhirnya berpamitan kepada mereka berdua, dan membawa kakek-kakek itu ke kaki bukit, di mana para tenaga medis telah menunggu dan siap untuk merawat para korban perang yang terluka, baik yang ringan maupun yang parah.

Myrrh hanya diam saja melihat pemuda itu pergi. Ia juga hanya diam saja melihat keadaan di bukit itu. Keadaan kacau balau di bukit itu.

“Wayne,” panggilnya.

“Ya?” tanya Wayne sambil berbalik.

“Maukah kau menemaniku ke Altar Para Dewa?” tanya Myrrh dengan suara tertahan. Sebelumnya, ia sama sekali tidak sudi menginjakkan kakinya ke daerah altar itu.

“Baik,” jawab Wayne menyanggupi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Sesampainya mereka di Altar Para Dewa, tempat itu sudah hancur berantakan, meskipun hanya bagian pinggirnya. Para gerombolan musuh yang mengharapkan kematian Myrrh menunggu di situ, memperhatikan mereka.

Myrrh menghela napas panjang, dan bertanya pada Wayne. “Di mana Diehl?”

Wayne langsung terdiam, dan Myrrh hanya bisa mendesah pelan. Sepertinya apa yang dirasakannya itu benar.

“Diehl… ia telah mati,” jawab Wayne sambil mengalihkan pandangannya ke lantai altar itu. Ia mengalihkan pandangannya ke mana-mana. Ke mana saja, asalkan bukan ke arah Myrrh. Ia tidak sanggup melihat Myrrh, karena ia tidak berhasil menjaga apa yang penting baginya, dan apa yang penting bagi Myrrh.

Mereka adalah teman sepermainan sejak kecil, dan mereka semua sudah seperti kakak beradik. Diehl sudah seperti kakak bagi Wayne dan Myrrh, karena mereka semua adalah anak tunggal, tidak mempunyai saudara.

“Sebuah batu besar terlempar ke arahnya, dan mengenainya kepalanya. Ia mati seketika itu juga,” jelas Wayne. Air mata mulai mengalir di pipinya.

Myrrh menengok ke arah Wayne, dan tersenyum sedih. “Jangan menangis,” pesannya. “Kamu harus tetap tegar, untuk kami,”

“Myrrh? Apakah… apakah kamu berniat untuk mengorbankan dirimu untuk memenuhi perjanjian itu?” tanya Wayne dengan nada tidak percaya.

Myrrh hanya menganggukkan kepalanya.

“Jangan!” teriak Wayne sambil menarik tangan Myrrh. “Diehl telah mati demi melindungimu! Jangan sia-siakan pengorbanannya, dan juga pengorbanan orang lain!”

Myrrh memperhatikan Wayne untuk beberapa saat, sebelum ia melepaskan tangannya dari genggaman Wayne.

“Wayne,” panggil Myrrh, “Apa isi ramalan di kitab kerajaan tentang kejadian ini?” tanyanya dengan suara rendah.

“Pasukan… akan datang pasukan berperisai batu rubi dan safir, yang akan membantu sang putri mencapai keinginannya,” ujar Wayne perlahan-lahan, mencoba mengingat apa yang tertulis di kitab kerajaan.

Saat itu juga, berdatanganlah dua kelompok besar pasukan. Yang satunya berperisaikan batu rubi dan mereka menyerang dengan api. Yang satunya berperisaikan batu safir, dan mereka menyerang dengan air.

Gerombolan musuh yang menginginkan kematian Myrrh itu mulai balas menyerang kedua pasukan itu.

“Lalu? Apa lagi katanya?” tanya Myrrh.

“Takdir… tak dapat diubah,” ujar Wayne pada akhirnya dengan putus asa.

“Mengerti, Wayne?” tanya Myrrh akhirnya. “Aku telah egois, aku telah menginginkan hal yang seharusnya tidak boleh kuingini, dan kini orang lain telah membayar ganjarannya untukku. Diehl, para penduduk desa, dan pasukan itu,”

Wayne terdiam mendengarkan penjelasan Myrrh.

“Aku tidak mau ada lebih banyak korban lagi, Wayne. Aku juga tidak ingin kamu menderita. Kamu harus tetap hidup, dan kamu harus hidup bahagia, demi aku, dan demi Diehl,” ujar Myrrh menjelaskan. “Aku ingin terus hidup agar aku bisa bersama orang-orang yang kusayangi, tapi kini mereka telah diambil daripadaku,”

“Myrrh…” bisik Wayne sedih.

“Karena itu,” ujarnya sambil berbalik menghadap altar yang terletak jauh di atas, melewati ratusan anak tangga yang membawanya ke atas, ia berkata dengan lantang bagaikana menentang para setan yang telah menghuni tempat itu karena perjanjian yang telah diikat antara para setan itu dengan keluarga kerajaan, “Biarlah jalan masuk bagi para pasukan itu tertutup, dan biarlah tidak ada lagi korban, karena aku akan menyerahkan diriku,”

Seketika itu juga, pintu-pintu batu yang adalah pintu masuk daerah altar itu tertutup, dan para pasukan itu tidak bisa lagi masuk ke dalam. Para musuh kerajaan pun berhenti menyerang, dan hanya memperhatikan Myrrh.

Myrrh berbalik ke arah Wayne dan tersenyum ke arahnya. “Kau tahu… para putri yang dipilih gelang ini dan dikurbankan di altar ini, arwahnya tidak akan bisa masuk ke alam sana,” ujarnya, dan Wayne mengangguk. “Karena itu, bila suatu hari kau meninggal dan tiba di alam sana, dan bertemu dengan Diehl, tolong sampaikan pesanku padanya,”

“Aku suka padanya,”

Dan setelah mengucapkannya, Myrrh mulai berjalan menaiki anak tangga itu, menuju altar di mana hidupnya akan berakhir, demi mengakhiri perang, dan penderitaan yang diakibatkan keegoisannya ini.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home