My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Friday, August 18, 2006

Life of A Dandellion

Saat itu, hari sudah petang. Matahari tidak lagi nampak, hanya seberkas cahaya oranye tua saja yang terlihat di ujung, mewarnai langit yang tadinya biru menjadi kemerah-merahan. Suhu saat itu amat hangat, dan terlihat banyak penduduk kota kecil itu yang sedang duduk-duduk di serambi depan rumah mereka sambil menikmati teh dan pemandangan indah itu.

Di sebuah rumah besar di pinggiran kota itu, hiduplah seorang laki-laki muda yang terkenal sombong, dan tidak mempedulikan perasaan orang lain, hingga suatu hari ia berubah total. Kini ia menjadi pendiam. Ia tidak lagi pergi keluar dari rumahnya seperti biasanya. Banyak orang yang bertanya-tanya mengapa, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui jawabannya.

Senja itu, pemuda itu sedang berdiri di pinggir jendelanya, memperhatikan sinar matahari yang perlahan-lahan mulai menghilang, digantikan oleh cahaya bulan yang sebentar lagi akan muncul, menggantikan tugasnya di malam hari.

Ia memperhatikan jalan berumput yang ada di depan rumahnya itu. Tidak banyak orang yang lewat di jalan itu karena jalan itu berada di pinggiran kota. Dan kalaupun ada orang yang lewat di depannya, mereka hanyalah orang-orang yang ingin mengejeknya.

“Hei, kamu lihat laki-laki itu? Kudengar ia sekarang dikutuk karena telah melukai seorang gadis muda,” bisik seorang gadis yang berjalan melewati jalan itu bersama dengan temannya.

“Benarkah? Pantas dia tidak pernah keluar rumah lagi. Hah, sudah seharusnya dia dikutuk. Malah menurutku seharusnya dari dulu saja,” balas temannya itu, dan mereka berdua berjalan pergi sambil tertawa kecil.

Mungkin memang ia keterlaluan. Tapi ia sama sekali tidak mengira akan terjadi seperti ini.

Ia terbangun dari lamunannya ketika seorang gadis muda berambut hitam panjang berjalan melintasi jalan di depan rumahnya itu. Ia hanya berjalan terus, sambil bersenandung pelan. Ia bahkan tidak menoleh untuk memperhatikannya.

Singkat kata, ia merasa tertarik pada gadis itu. Selama ini ia tidak menyadarinya, tetapi setelah diingat-ingat, gadis itu memang tidak pernah mengejeknya setiap kali ia berjalan melintas di jalan itu, tidak seperti orang-orang lainnya.

“Hei kamu,” panggil pemuda itu.

Gadis itu tersentak kaget, sebelum ia melihat sekeliling.

“Hei,” panggil pemuda itu lagi.

Gadis itu terdiam sebentar, sebelum ia menengok ke arah rumah pemuda itu, dan berjalan menghampirinya. “Ada apa?” tanyanya lembut sambil tersenyum simpul.

“Kamu… Kenapa kamu tidak ikut mengejekku seperti orang lain?” tanya pemuda itu heran.

“Kenapa harus?” gadis itu balas bertanya.

Pemuda itu terdiam sejenak. Tampak ia sedang memikirkan sesuatu untuk diucapkan.

“Siapa namamu?” tanya gadis itu tiba-tiba, dan pemuda itu terkejut. Saat ia melihat matanya, ia baru mengetahui bahwa gadis itu buta. Pantas saja ia melihat sekeliling untuk mencari sumber suaranya tadi, dan pantas saja ia tidak mengejeknya. Ia tidak bisa melihatnya.

“Aku Shinya Yamato,” jawab pemuda itu. “Apakah kau pernah mendengar nama itu?” tanyanya. Ia ingin tahu apakah gadis itu akan mengejeknya setelah mengetahui siapa dia.

“Ah… laki-laki yang tinggal di rumah besar di pinggiran kota itu ‘kan?” tanya gadis itu sambil tersenyum lebar, seperti ia baru saja berhasil menebak jawaban sebuah kuis yang berhadiah uang tunai satu miliar.

Sekali lagi Yamato terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia takjub akan kebaikan hati gadis itu. Selama ini ia terkenal sebagai laki-laki tidak tahu diri yang selalu melukai orang lain, bukan sebagai laki-laki yang tinggal di rumah besar di pinggiran kota.

“Ya, itu aku,” jawab Yamato sambil tersenyum kecil. Akhirnya ia menemukan orang yang bisa menerimanya. Mungkin ia tidak akan menyesal nantinya. “Siapa namamu?” tanyanya.

“Aku Akihito Rin,” jawab gadis itu. “Adik dari Akihito Shuujin,”

Yamato tampak terkejut, dan ia langsung membanting daun jendelanya. Ia kemudian menarik tirainya sehingga semua jendelanya tertutup, dan ia bersandar pada dinding kamarnya. Wajahnya tampak sedih, dan bersalah.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Yamato? Apa ada masalah yang membebani pikiranmu?” tanya seorang laki-laki dewasa yang wajahnya kebapakan sambil memperhatikan laki-laki yang bersandar di dinding kamarnya itu. “Tidak biasanya kau merenung seperti itu,”

“Tidak… aku… tadi aku menemui dia,” jawab Yamato sambil menarik kedua kakinya ke arah dadanya, dan menaruh tangannya di atas lututnya. Ia kemudian membenamkan wajahnya ke dalam tangannya.

Dia?” tanya laki-laki itu heran sambil berjalan mendekati Yamato.

“Ya, dia,” jawab Yamato sambil menganggukkan kepalanya, suaranya tertahan karena tertutup tangannya. “Gadis yang kedua matanya kubutakan,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Esok harinya, Yamato kembali bersandar di ambang jendelanya, memperhatikan matahari yang perlahan mulai terbenam dan menghilang di balik bukit di depan rumahnya. Ia juga sesekali memperhatikan jalan di depan rumahnya, kalau-kalau gadis itu berjalan melewatinya lagi.

Sesuai perkiraan, ketika cahaya oranye itu mulai meninggalkan langit dan digantikan oleh selimut biru tua yang menutupi langit, gadis itu berjalan melewati jalan di depan rumahnya. Mungkin ia harus melewati jalan itu bila ia ingin pulang ke rumah.

“Rin,” panggil Yamato setengah berteriak ke arah gadis itu.

Rin tersentak kaget sehingga ia hampir saja terjatuh. Ia berbalik, dan berjalan menuju rumah Yamato. Ia bisa mengingat jalan yang pernah dilaluinya, sehingga ia tidak terlalu mengalami kesulitan dalam bepergian meskipun ia buta.

“Selamat malam,” sapa Rin sambil tersenyum ramah ke arah Yamato.

Sekali lagi Yamato amat takjub akan kebaikan hatinya. Bahkan ketika ia telah mengalami berbagai macam penderitaan, ia tetap ramah dan baik hati kepada semua orang. Ia bahkan baik hati pada orang yang telah melukainya.

“Rin,” panggil Yamato, dan Rin diam, bukti bahwa ia mendengarkan. “Kenapa kamu tidak membenciku?” tanyanya.

“Membencimu? Untuk apa?” sekali lagi Rin menanyakan hal yang sama.

“Aku… aku telah membutakan kedua matamu. Apakah kamu tidak merasa marah padaku?” tanya Yamato setengah berharap. Ia berharap Rin tidak membencinya, karena ia telah memutuskan untuk mempercayainya.

Rin hanya tersenyum kecil. “Apakah hal itu yang terus kau pikirkan selama ini?” tanya Rin ramah. “Aku tidak membencimu, dan tidak akan pernah membencimu,”

Yamato amat lega mendengarnya. “Tapi… kenapa?”

“Kau ingin aku membencimu?” tanya Rin sambil tertawa kecil. “Kedua mataku memang sudah terluka pada waktu itu. Meskipun tidak kaulukai juga, aku tetap akan menjadi buta,” jelasnya.

“Oh,” gumam Yamato singkat. Kini ia benar-benar merasa lega. Memang ia masih merasa bersalah karena kebutaan Rin setengahnya adalah akibat perbuatannya, tetapi ia lega karena Rin tidak menyalahkannya, tidak seperti penduduk kota lainnya, yang bahkan tidak mengetahui duduk persoalannya.

“Ah, sudah malam. Sebaiknya aku cepat pulang, kalau tidak kakakku akan panik,” ujar Rin tenang seakan-akan tidak akan ada apa-apa yang terjadi meskipun ia tidak pulang. “Sampai jumpa,”

“Rin,” panggil Yamato sebelum Rin menghilang dari pandangannya. “Temui aku di bukit itu besok siang,” pesannya, dan Rin hanya mengangguk, sebelum ia akhirnya benar-benar hilang dari pandangannya, ditelan kegelapan malam.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak pertemuan mereka. Kini mereka sudah berteman baik, dan mereka sering bertemu di bukit itu untuk mengobrol, bercerita, dan bermain-main. Tidak ada seorang pun yang dengan terang-terangan menentang hubungan mereka berdua, meskipun beberapa orang sempat terheran-heran. Mengapa orang sebaik Rin mau berteman dengan Yamato?

Sore itu, mereka kembali bertemu di bukit itu untuk mengobrol, bercerita tentang kehidupan mereka sehari-hari. Rin banyak menceritakan tentang kakaknya, sedangkan Yamato menceritakan ayah angkatnya yang merawatnya sejak ia masih kecil.

Tiba-tiba, Yamato mengambil sebuah pot kecil yang tadi sengaja ia bawa bersamanya. Di dalamnya, tertanam sekuntum bunga dandelion yang sudah hampir mekar dan terlihat indah sekali, seperti bola kapas.

“Rin, aku ingin kau menjaga bunga ini,” ujar Yamato sambil memberikan bunga itu kepada Rin yang tampak keheranan. “Mungkin kita tidak akan bisa sering bertemu lagi. Bila kau merasa kehilanganku, bunga ini akan menjadi penggantiku,”

Rin memperhatikan bunga itu sebentar. Ia mengangkat tangannya dan meraba bunga itu, untuk mengetahui bentuknya. Ia kemudian tersenyum. “Aku akan menjaganya,”

“Terima kasih,” gumam Yamato. Ia memperhatikan Rin untuk beberapa saat, sebelum ia menunduk dan mengecup bibir gadis itu.

“Selamat tinggal,” bisiknya, dan sebelum gadis itu sempat berkata apa-apa, ia berjalan pergi dari bukit itu, meninggalkan gadis itu sendirian.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Hei Suzuki, mana Yamato?” tanya seorang laki-laki dewasa yang adalah teman dari ayah angkat Yamato. Ia melihat sekeliling, tapi sama sekali tidak melihat anak angkat temannya itu.

“Yamato ada di dalam kamarnya,” jawab Suzuki. “Tumben kau mau menemuinya, Kai, ada apa?” tanya Suzuki heran.

“Aku hanya ingin mengecek keadaannya saja,” jawab Kai enteng. Ia mengetahui tentang kutukan yang diberikan kepada Yamato saat ia membutakan kedua mata seorang gadis muda. Kini hidupnya tersambung pada setangkai bunga. Bunga dandelion.

Bila bunga itu layu, atau kehilangan semua anaknya, maka Yamato akan kehilangan hidupnya juga. Karena itulah pot yang berisikan bunga itu selalu disimpan di pojok kamarnya, di tempat yang tidak terkena angin, untuk mengurangi kemungkinan kematiannya.

“Akan kuantar kau ke kamarnya,” tawar Suzuki, dan mereka berdua berjalan menuju kamarnya. “Yamato, apakah kau ada di dalam?” tanya Suzuki sambil mengetuk pintu kamar Yamato yang terbuat dari kayu jati.

“Tidak ada jawaban, coba buka saja,” usul Kai. “Siapa tahu ia sedang tidak berada di kamarnya,” tambahnya sambil mengangkat bahunya.

Suzuki memperhatikan temannya sebentar, sebelum ia mengangguk. Ia membuka pintunya, dan berjalan ke dalam kamarnya. “Dia tidak ada di dalam,” ujarnya sambil melihat ke arah tempat tidurnya. Biasanya Yamato sedang berada di dekat tempat tidurnya.

“Bunganya…” gumam Kai sambil memperhatikan pojok ruangan itu, tempat di mana seharusnya pot bunga itu berada.

“Tidak ada?” tanya Suzuki sambil mengernyitkan dahinya. “Tapi… tidak. Tidak mungkin ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri,” ujarnya sambil menggelengkan kepalanya.

“Kenapa tidak mungkin?” tanya Kai menuntut. “Kalaupun ia tidak ingin mengakhiri hidupnya, bila ia memberikannya kepada orang lain, itu berarti kematiannya sudah pasti,”

“Aku tahu, tapi kita ‘kan belum tahu apakah ia memberikannya pada orang lain atau memindahkan posisinya. Lagipula, kalaupun diberikan kepada orang, kepada siapa? Kau tahu ia membenci hampir semua penduduk desa ini,” tutur Suzuki.

“Pokoknya sekarang kita cari Yamato dulu,” usul Kai.

Mereka berdua berjalan keluar dari kamar Yamato, dan baru saja hendak berbelok ketika mereka melihat sosok seseorang di lantai kamar mandi yang pintunya terbuka.

“Yamato?” panggil Suzuki ragu-ragu sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar mandi itu. Ia terkejut bukan main ketika ia melihat tubuh Yamato tergeletak di atas lantai di dalam kamar mandi itu, tidak bergerak sama sekali.

“Yamato!”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Rin berjalan keluar dari rumahnya sambil membawa sebuah gelas kecil berisikan air. Ia berjalan menuju teras depan rumahnya, dan menghampiri pot berisi bunga dandelion yang diberikan Yamato padanya.

“Lho? Sepertinya ada yang menghilang,” gumamnya saat ia meraba bunga itu lagi. Kini ujung runcing dari bunga itu sudah tidak terasa lagi di beberapa bagian, tergantikan oleh bantalan empuk yang ada di bagian dalam bunganya.

Ia menuangkan air di dalam gelas itu ke atas tanah di dalam pot itu, dan meletakkan gelasnya di atas meja di depan rumahnya. Ia menghela napas panjang, dan mendesah.

“Kira-kira, Yamato ke mana ya? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?” tanya Rin pada dirinya sendiri.

“Rin,” panggil Shuujin, kakaknya, dan Rin hampir saja melompat kaget. “Ada orang mencarimu,” lanjutnya. “Di depan,” tambahnya.

“Baik, terima kasih Kak,” balas Rin sambil mengangguk kecil. Ia berjalan turun dari teras depan rumahnya dan menghampiri gerbang depan rumah mereka, yang terletak cukup jauh dari teras rumahnya karena terpisah oleh sebuah taman kecil.

“Ya?” tanya Rin. Ia berdiri tepat di depan kedua orang yang mencarinya itu, karena ia bisa merasakan keberadaan mereka.

“Apakah kau… Akihito Rin?” tanya Suzuki sambil memandangi gadis itu dengan sedih.

“Ya… Anda siapa ya?” Rin balas bertanya.

“Aku adalah Kishikawa Suzuki, ayah angkat dari Shinya Yamato, dan ini temanku, Taniyama Kai,” jawab Suzuki sambil memperkenalkan dirinya. “Aku ada di sini untuk memberitahumu tentang Yamato,” lanjutnya.

“Yamato? Apa yang terjadi?” tanya Rin heran.

“Yamato sedang dalam keadaan koma,” jawab Kai, menyela Suzuki yang hendak menjawab pertanyaan Rin. “Hidupnya tersambung pada setangkai dandelion, dan bila seluruh kelopak dandelion –atau yang lebih sering kita sebut anaknya- terlepas darinya, maka nyawanya akan ikut melayang,” jelasnya secara singkat.

“Ter- tersambung pada bunga dandelion?” tanya Rin tergagap. Ia mengetahui rupa bunga dandelion, tapi sebelumnya ia tidak tahu bahwa kelopaknya bisa diterbangkan oleh angin.

“Apakah kau mengetahui sesuatu tentang keberadaan bunga itu sekarang?” tanya Kai.

Tiba-tiba, angin kencang berhembus di daerah yang biasanya tidak berangin itu. Rin tersentak, dan segera berlari menghampiri pot bunga yang terletak di dekat meja di depan rumahnya itu, diikuti oleh Suzuki dan Kai.

“Tidak… kumohon, walaupun hanya satu, tetaplah tinggal,” pinta Rin sambil meraba bunga itu, berusaha mencari kelopaknya yang mungkin masih tertinggal setelah tertiup angin kencang itu. Suaranya sengau karena isak tangisnya yang tertahan.

“Kumohon…” pintanya sambil terus meraba bunga itu, tetapi ia tidak menemukan satu pun yang tersisa.

Akhirnya, air matanya yang berusaha ditahannya pun tergerai. Ia tidak sanggup lagi menahan tangisnya. Air mata mengalir dengan deras menuruni wajahnya, membasahi pipinya.

“TIDAK!” teriaknya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, merasakan kelopak-kelopak bunga dandelion itu terbang menjauh darinya, diikuti nyawa Yamato, pria yang dicintainya sejak tiga tahun silam, yang juga terbang menjauh darinya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home