My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Friday, August 18, 2006

Kesedihan Seorang Putri

“Kakak,” panggil seorang anak kecil yang baru berumur sekitar sepuluh tahun sambil memperhatikan kakaknya yang sedang berdiri di depan pintu gerbang belakang dari istana kerajaan itu. “Kakak mau ke mana?” tanyanya sambil menyipitkan matanya, air mata mulai berkumpul di sudut matanya.

“Sherry,” pangil kakaknya, seorang remaja berumur sembilan belas tahun, dengan penuh rasa sayang. Rambutnya yang berwarna hitam tergerai di sisi wajahnya, membuatnya tampak menawan. Ia memakai jubah panjang agar ia tidak dikenali orang begitu ia berjalan keluar dari daerah istana. “Aku tidak akan pergi meninggalkanmu, aku janji,” ujarnya sambil membelai kepala adiknya perlahan-lahan, mengacak-acak rambut pirang adiknya. “Aku akan tetap di sini sampai akhir hidupku,” tambahnya, dan dengan sebuah senyum yang meyakinkan, ia berbalik dan berjalan keluar dari pintu gerbang itu, meninggalkan adiknya yang hanya bisa menatapnya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Dengan langkah pelan, Sherry berjalan masuk ke dalam istana itu. Istana itu berukuran amat besar, dan dindingnya semua terbuat dari batu yang amat keras. Rasanya seperti berada di dalam penjara.

Ia bisa mengerti mengapa kakaknya terus-menerus kabur dari lingkungan istana itu dan berjalan-jalan di desa di depan istana. Menurut kakaknya, kehidupan orang-orang desa lebih menarik daripada kehidupan orang-orang yang adalah keturunan bangsawan. Orang tua mereka tidak tahu, tetapi kakaknya sudah berteman dengan banyak sekali pemuda-pemudi desa itu, dengan menggunakan sosok keduanya.

Setiap kali keluar dari lingkungan istana, kakaknya selalu mengenakan jubah panjang lusuh berwarna hitam itu. Jubah itu adalah peninggalan dari seorang prajurit istana, yang kemudian gugur di medan perang ketika terjadi perang tiga tahun yang lalu. Sebuah acara pemakaman diadakan untuk menghargainya, dan semua orang datang untuk mendoakannya. Yang anehnya, kakaknya menangis sangat histeris melihat mayat prajurit itu di dalam peti mati berwarna hitam berkilau. Menurut orang tua mereka, itu karena prajurit itu dulu bekerja sebagai instruktur bela dirinya, dan sangat dekat dengannya, seperti kakak beradik.

Ia menengok ke luar jendela sebentar, dan memperhatikan desa yang ada di bawah bukit rendah itu. Kelihatannya ramai sekali. Di daerah pasar, banyak orang berlalu-lalang, berjualan, dan membeli barang-barang. Ia juga ingin pergi ke sana, walau hanya sekali, tetapi ia tidak bisa.

Ibunya berkata bahwa ia masih kecil, belum bisa menjaga dirinya sendiri. Dan dari wajahnya saja, dapat diketahui bahwa ia adalah keturunan bangsawan, tidak seperti kakaknya yang wajahnya seperti orang pada umumnya. Dan juga karena namanya. Sherry bukanlah nama yang umum.

“Pantas Kakak sampai membuat nama palsu,” gumam Sherry. Ia menopang dagunya dengan kedua tangannya, dan melihat ke kejauhan. Ia merasa iri sekali pada kakaknya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kakaknya selalu baik terhadapnya, dan ia tidak mau membalas kebaikan itu dengan kejahatan.

“Putri Sherry,” panggil sebuah suara dari belakangnya, dan Sherry langsung berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Di belakangnya, berdiri seorang pria tinggi berambut hitam acak-acakan. Dia adalah pengganti prajurit istana yang telah meninggal itu. “Sedang apa di sini?” tanyanya sambil berlutut agar Sherry tidak perlu menengok ke atas untuk melihat wajahnya.

“Kurt,” sapa Sherry sambil memaksakan sebuah senyum ke arah prajurit itu. “Aku hanya sedang melihat-lihat keadaan desa dari sini. Dari sini, desa terlihat amat jelas,” jawab Sherry sambil berbalik dan menghadap jendela itu lagi.

“Berhati-hatilah, jangan sampai Anda terjatuh,” pesan Kurt, dan ia bangkit berdiri. “Apakah Anda tahu di mana kakakmu berada?” tanyanya sambil melirik ke bawah, memperhatikan Sherry yang sepertinya ingin sekali melompat keluar dan berlari menuju desa kecil itu.

“Myria?” tanya Sherry sambil menengok ke arah Kurt. “Ia sedang berjalan-jalan, tidak lama lagi pasti pulang,” jawab Sherry dengan nada ragu-ragu. “Ada apa kamu mencarinya?” tanyanya lagi.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin mengetahui keberadaannya, itu saja,” jawab Kurt, dan ia bersiap-siap pergi.

“Kurt,” panggil Sherry sambil berbalik. Panggilannya membuat prajurit itu menghentikan langkahnya. “Mengapa kamu selalu memanggilnya seperti itu, tidak pernah dengan namanya?” tanya Sherry sambil mengernyitkan dahinya.

Kurt terdiam untuk beberapa saat, sebelum ia tertawa kecil. “Itu bukan masalah besar, Putri Sherry,” jawabnya sambil tersenyum ramah ke arah putri kecil itu. “Suatu saat kau akan mengetahuinya,” tambahnya, dan ia pun berjalan pergi dari hadapan Sherry.

Dan sekali lagi, Sherry hanya bisa diam sambil menatapnya berjalan pergi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Esok harinya, para pangeran dari kerajaan tetangga datang dan berkumpul di ruang pesta istana itu. Semuanya datang dengan pengawal pribadinya. Mereka semua berpakaian mewah, dan mereka sangat yakin akan bisa mendapatkan hati sang putri kerajaan itu yang konon katanya amat cantik.

Baru saja mereka berkumpul di hadapan singgasana raja, seorang putri dengan gaun berwarna biru tua berjalan keluar dari ruangannya dan berdiri tepat di depan semua pangeran yang ada di situ.

Semua pangeran itu memperhatikannya dengan takjub. Mereka memang sering mendengar bahwa putri dari kerajaan ini amat cantik, tetapi ketika mereka melihatnya secara langsung, mereka tetap terkejut melihat kecantikannya.

“Myria, apa yang kau lakukan?” tanya raja kerajaan itu sambil memperhatikan Myria yang berdiri di depannya sambil memperhatikan para pangeran itu. “Belum saatnya kau berada di sini. Kembalilah ke kamarmu,” perintahnya.

“Hei,” panggil Myria, dan semua pangeran beserta pengawal pribadi yang ada di situ memperhatikannya. “Sedang apa kalian semua di sini!? Aku tidak butuh laki-laki manja seperti kalian semua! Pergi dari sini!”

Para pangeran terkejut mendengar kata-katanya. Memangnya dia pikir dia siapa, berani-beraninya berbicara seperti itu kepada seorang pangeran, pikir mereka.

Kurt berjalan memasuki ruangan pesta itu dan berdiri di sebelah Myria. “Ini adalah perintah langsung darinya, mohon dituruti,” ujarnya sambil membungkukkan badannya untuk memberi hormat.

“Kurt, tidak perlu membelaku,” ujar Myria tenang. “Lagipula tidak mungkin mereka mau menikahiku,” tambahnya sambil melihat ke bawah dengan wajah sedih.

Semua yang ada di situ langsung memperhatikannya, kecuali Kurt yang tetap tenang di sebelahnya, meletakkan tangannya di atas pundak Myria untuk menenangkannya yang hampir menangis.

Dengan cepat ia menarik kerah gaunnya, dan merobeknya. Ia melihat ke depan dan memperlihatkan dadanya yang rata pada semua pangeran yang ada di situ. “Aku laki-laki! Sekarang cepat pergi dari sini!” teriaknya.

Tanpa perintah kedua, semua pangeran yang tadinya hendak mengikuti pesta perjodohan itu segera berjalan keluar dari ruangan pesta itu, dan meninggalkan kerajaan itu, beserta pengawal pribadinya.

“Myria, apa maksudmu melakukan ini?” tanya sang raja dengan geram, memperhatikan putranya itu. “Siapa yang menyuruhmu melakukannya!?” teriaknya dengan geram sambil bersiap-siap memukulnya.

“Aku sendiri yang ingin melakukannya,” jawab Myria dengan tenang. “Lagipula sudah saatnya aku memberitahukannya, pada mereka, dan pada Sherry,” lanjutnya menyelesaikan dengan pelan.

Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke arahnya. Dengan tenang ia bangkit berdiri tanpa mempedulikan rasa sakit yang menyengat di pipinya, dan berjalan pergi dari tempat itu, meninggalkan sang raja yang marah, sang ratu yang sedih, dan sang prajurit yang diam tanpa ekspresi.

Tetapi ternyata masih ada satu orang lagi yang terlewatkan, yaitu sang putri yang tampak begitu terkejut, yang tersembunyi di balik bayang-bayang pintu besar ruangan itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Kyle,” panggil seorang laki-laki tampan berambut pirang sambil menggenggam tangan Myria. “Apa ada yang memberatkan pikiranmu?” tanyanya.

Myria terdiam. Laki-laki itu adalah salah satu temannya yang ia dapatkan ketika ia sedang bermain-main di desa dengan menggunakan nama Kyle.

“Kenapa? Tidak biasanya kamu diam seperti ini,” tanyanya lagi sambil terus memperhatikan Myria yang sepertinya sedang berpikir keras.

“Tidak apa-apa,” jawab Myria cuek sambil menggelengkan kepalanya, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Hari sudah gelap, sebaiknya aku kembali sekarang,” ujarnya dan ia pun bersiap untuk pergi dari taman kecil itu.

“Kyle,” panggil laki-laki itu sambil menggenggam pergelangan tangannya.

“Ya? Ada apa Ryan?” tanyanya sambil memperhatikan temannya itu.

“Menikahlah denganku,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Ayah,” panggil Sherry sambil berjalan masuk ke dalam ruangan orang tuanya. “Kak Myria pergi lagi,” ujarnya.

“Tidak apa-apa,” balas ayahnya tenang. “Biarkanlah ia bersenang-senang, selagi ia bisa,” tambahnya. “Kemarilah Sherry,” panggilnya, dan Sherry berjalan menghampiri ayahnya yang duduk di atas tempat tidurnya.

“Apakah kau menyayangi kakakmu?” tanya sang raja pada putrinya itu sambil membelai rambutnya.

“Ya, aku sayang Kak Myria,” jawab Sherry.

“Aku yakin dia juga pasti menyayangimu,” ujar sang raja tenang.

“Ayah,” panggil Sherry, dan sang raja menengok ke bawah untuk memperhatikan putrinya itu. “Apakah benar… Kak Myria seorang laki-laki?” tanyanya.

Sang raja nampak terkejut, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Ia menarik napas dalam, dan berkata, “Ya, benar, dia adalah seorang laki-laki,” ujarnya, “Dan namanya bukan Myria,”

“Bukan Myria?” tanya Sherry kaget.

“Ya, namanya yang sebenarnya adalah Kyle,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Me- menikah denganmu?” tanya Myria ragu-ragu. Ia tidak bisa langsung berkata tidak begitu saja karena Ryan adalah teman baiknya, tidak seperti para pangeran yang diusirnya tadi siang.

“Ya, menikahlah denganku,” ulang Ryan dengan mantap. “Kita sudah tidak muda lagi, Kyle. Aku sudah dua puluh lima, dan kau sudah sembilan belas. Bukankah itu sudah cukup?” tanyanya sambil memperhatikan Myria yang tampak gugup.

“Aku... aku tidak bisa, Ryan. Maaf, tapi sungguh, aku tidak bisa,” jawab Myria panik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kenapa tidak?” tanya Ryan sambil mengernyitkan dahinya. Tentu saja ia tidak akan memaksa Myria menikahinya, tetapi ia ingin mengetahui penyebab mengapa Myria menolaknya.

“Lepaskan dia,” ujar sebuah suara, dan begitu keduanya menengok ke arah sumber suara itu, mereka melihat Kurt yang sedang menghunus pedangnya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Kyle?” tanya Sherry.

“Ya, dan mungkin kamu tidak akan mempercayai hal ini, tetapi sekarang sudah saatnya aku memberitahumu,” ujar sang raja itu dengan berat hati, “Dia bukan kakakmu,”

“A- apa maksudnya?” tanya Sherry tergagap sambil memperhatikan ayahnya. “Itu tidak mungkin ‘kan?”

“Kyle bukan kakakmu, ia adalah adik dari prajurit yang gugur tiga tahun lalu, dan ia adalah adik sepupu dari Kurt, pengganti kakaknya itu, dan kami mengangkatnya sebagai anak kami sejak ia berusia sebelas tahun,” jelas ayahnya. “Dia mungkin tidak akan sempat memberitahumu hal ini, jadi aku yang menggantikannya dalam melakukan tugas ini,”

“Tidak sempat?” tanya Sherry heran. “Kenapa tidak sempat?”

“Sebab sebentar lagi ia akan meninggal,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Kurt? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Myria heran sambil memperhatikan prajurit itu berdiri sambil memegang pedangnya yang terhunus.

“Sudah tugasku untuk menjagamu sejak kematian kakakmu,” jawab Kurt tenang. “Dan aku tidak akan membiarkannya membawamu pergi,” tambahnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah Ryan.

Ryan melepaskan genggamannya, dan mengambil sebuah pedang yang tergantung di ikat pinggangnya. Ia berdiri menghadap Kurt, seakan-akan menantangnya dalam sebuah duel untuk memperebutkan Myria.

“Kurt, hentikan sekarang juga!” teriak Myria memerintah, tetapi Kurt tidak mendengarkannya.

Keduanya bertarung, seakan-akan mereka berada di medan perang. Bunyi yang timbul dari besi yang bertemu dengan besi terdengar menggema di taman kecil itu. Gerakan mereka amat cepat, hampir tidak terlihat, tetapi masih belum ada satu pun yang berhasil menyerang dan melukai orang yang satunya.

Mereka berlari menerjang ke arah satu sama lain, pedang mereka tertunjuk ke arah lawannya, dan…

“Hentikan!” teriak Myria, dan tiba-tiba saja ia berdiri tepat di antara keduanya.
Tidak terelakkan lagi, kedua pedang itu menusuk tubuhnya, dan berhentilah pertarungan itu.

“Kyle!” teriak Ryan sambil menahan tubuh Myria yang terjatuh. Ia menarik keluar kedua pedang itu dari tubuhnya, dan membaringkannya di atas rerumputan yang tumbuh di tengah-tengah taman itu sementara Kurt memperhatikan mereka dalam diam. Ia memang tidak terlalu menyayangi adik sepupunya itu. Selama ini ia menjaganya hanya karena terpaksa.

“Ryan, Kurt,” panggil Myria. “Maafkan aku,” ujarnya, darah mengalir keluar dari mulutnya.

“Tidak, maafkan aku,” ujar Ryan sambil memeluk Myria dan menangis.

“Ini bukan salahmu,” ujarnya tenang. “Aku memang akan mati malam ini,” tambahnya dengan suara serak.

“Kyle?” tanya Ryan dengan ragu-ragu.

“Aku mengidap penyakit yang tak dapat disembuhkan sejak tiga tahun yang lalu,” jawab Myria. “Tidak banyak yang mengetahui hal ini… kecuali kakakku, dan orang tua angkatku,”

“Sudah, kau tidak perlu berkata apa-apa lagi, aku mengerti,” ujar Ryan yang sekarang sudah menangis. Air mata mengalir deras di pipinya sementara ia berusaha menutup luka Myria. Ia merobek lengan bajunya dan mengikat tubuh Myria dengan itu untuk menghentikan aliran darahnya.

“Kurt,” panggil Myria dengan segenap kekuatan yang masih ada padanya.

Kurt memperhatikannya dengan wajah tanpa ekspresi. Dingin. Seperti biasanya.

“Terima kasih, karena telah menjagaku selama tiga tahun ini. Aku sungguh bersyukur bisa mempunyai orang sepertimu sebagai kakak,” ujar Myria sambil tersenyum. “Sekarang aku telah pergi. Kamu tidak lagi terikat perjanjian dengan kakakku, sekarang kau boleh bebas melakukan apa pun yang kamu mau,”

Kurt tetap diam saja, memperhatikan Myria yang terus berbicara.

“Tetapi sekali lagi, kuucapkan terima kasih, untuk segalanya,” ujarnya, “Aku menyayangimu,” dan ia pun menghembuskan napasnya yang terakhir.

“Kyle!” teriak Ryan yang masih menangis sambil mengguncang-guncang tubuh Myria, tetapi Myria tidak bereaksi. Tubuhnya mulai mendingin dan menjadi kaku.

“KYLE!” teriakannya berbaur dengan keheningan malam, dan tanpa sadar, Kurt pun meneteskan air matanya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home