My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Friday, August 18, 2006

Engagement Ring

Adalah seorang remaja berwajah manis yang selama hidupnya telah terjadi berbagai kejadian aneh. Ia adalah Kikukawa Sasuke.

Ketika ia berumur tujuh tahun, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang. Sampai ia berumur dua belas tahun, ia tinggal di sebuah panti asuhan yang letaknya di pinggiran kota, sementara ketika ia berumur dua belas ia diadopsi oleh seorang wanita berkebangsaan Jepang yang tinggal di Cina dan bernama keluarga Kishikawa.

Sejak berumur delapan tahun, ia mengetahui bahwa ia mempunyai tunangan yang ditunangkannya padanya sejak ia masih bayi, dan pada saat ia berumur sepuluh tahun, tepat pada hari ulang tahunnya, ia menerima sebuah surat dari tunangannya, namun di surat itu tidak disertakan alamat tetap dan nama pengirimnya.

Ketika ia berumur lima belas, ia dipulangkan ke Jepang karena anak laki-laki wanita itu telah kembali dari studinya di Guangzhou. Bila ia tidak dipulangkan, ia pasti akan dibunuh karena di negara itu, satu keluarga tidak diperbolehkan memiliki lebih dari satu anak, dan hukum di negara itu amat ketat. Tidak bisa dilanggar.

Ia kembali bersekolah di sekolahnya yang dulu, dan kembali bertemu dengan orang yang berlaku sebagai kakaknya saat ia masih tinggal di panti asuhan itu. Tidak lama kemudian, kakak angkatnya menyusulnya ke Jepang.

Yang tidak terduga, keduanya menunjukkan tanda-tanda menyukainya, meskipun sampai saat ini ia masih belum mau mengakuinya. Maklumlah, mereka semua ‘kan sama-sama laki-laki.

Kejadian aneh yang terakhir yang dialaminya adalah kenyataan bahwa ia diangkat anak oleh wanita itu dengan ketentuan sebagai berikut, namanya harus diganti menjadi Kishikawa Sasuna, dan ia harus berperan sebagai anak perempuannya.

Sepulangnya ke Jepang pun ia masih diharuskan menjadi Sasuna, anak perempuan satu-satunya di keluarga Kishikawa.

Nah, yang menjadi masalah, mampukah ia menemukan tunangannya dengan bantuan cincin emas putih miliknya dan surat yang dikirimkan tunangannya itu?

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Sebuah jam weker berbunyi dengan nyaringnya, tapi pemilik jam weker itu masih belum juga mau keluar dari tempat tidurnya yang nyaman itu. Ia malah menarik selimut itu semakin tinggi hingga akhirnya menutupi kepalanya.

Seseorang pada akhirnya mematikan jam weker itu, dan pemiliknya yang masih terbaring dengan santainya di tempat tidur itu nyaris menghela napas lega.

“Sasuna, bangun,” panggil sebuah suara, sebuah suara yang sudah sangat ia kenal padahal mereka baru berkenalan selama dua minggu, sambil berusaha membangunkan remaja yang masih tertidur di dalam tumpukan selimut itu.

“Sebentar lagi,” keluh Sasuke sambil berbalik dan menarik selimutnya bersamanya. Ia memang tidak biasa bangun pagi. Biasanya ia bangun pukul tujuh, bukan setengah tujuh.

“Hei bangun,” panggil suara itu lagi. “Atau kau mau kakakmu yang tampan ini menggendongmu ke kamar mandi dan memandikanmu?” tanyanya dengan nada mengejek, tetapi sepertinya Sasuke tidak menanggapinya dengan humor, karena ia langsung digeplak dengan sebuah bantal yang cukup keras oleh Sasuke.

“Dasar mesum,” ujar Sasuke sambil menyisir rambutnya yang masih agak berantakan dengan tangannya. Ia duduk di kasurnya, dan menguap sedikit. “Sudah berapa kali kubilang kamu tidak boleh masuk ke kamarku, Shin?” tanya Sasuke sambil melotot ke arah kakaknya yang hanya lebih tua darinya dua bulan itu.

“Ah-ha, paling tidak sekarang kamu sudah benar-benar sadar,” ujar Shinjo -dialah putra dari keluarga Kishikawa, Kishikawa Shinjo yang kerap dipanggil Shin- sambil tersenyum. Ia masih ingat jelas saat ia dihajar Sasuke karena berusaha membangunkannya waktu itu, tetapi tidak berhasil membuatnya benar-benar terbangun. Ternyata Sasuke yang setengah sadar lebih menakutkan daripada Sasuke yang sadar.

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku,” geram Sasuke, tapi akhirnya ia menyerah. Meskipun sudah dilarang, ini sudah yang ketiga puluh kalinya Shinjo masuk ke dalam kamarnya tanpa izin. “Sekarang baru pukul setengah tujuh,” ujar Sasuke sambil memperhatikan jam yang ada di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya.

“Ya, lalu?” Shinjo bertanya.

“Kenapa kamu membangunkanku!?” protes Sasuke, dan ia pasti akan langsung tertidur lagi kalau saja Shinjo tidak menghentikannya.

“Hei, jangan sia-siakan usahaku membangunkanmu dong,” protes Shinjo sambil mengerutkan bibirnya sedikit. “Kau pikir membangunkanmu itu hal yang mudah?” tanyanya.

“Siapa yang menyuruhmu membangunkanku?” Sasuke balas bertanya sambil memeluk bantal dan selimutnya, bersiap-siap tidur kembali segera setelah Shinjo berjalan keluar dari kamarnya.

“Yah, paling tidak jam wekermu tidak akan bisa membangunkanmu, dan apakah kamu mau terlambat?” tanya Shinjo, dan Sasuke diam saja. Ia memang sudah terlambat tiga kali sebelum Shinjo menyusulnya ke Jepang karena ia tidak bisa bangun hanya karena mendengar suara jam weker. “Sudah, sudah, sana mandi,” perintah Shinjo, dan dengan berat hati Sasuke meninggalkan tempat tidur kesayangannya itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Setelah selesai mandi, sesuai dugaan, Sasuke masih memiliki banyak waktu luang. Shinjo sama sekali belum menyiapkan sarapan, dan baru mulai menyiapkan sarapan ketika Sasuke mulai mandi.

Meskipun yang lebih mirip perempuan di antara keduanya adalah Sasuke, yang lebih terlatih dalam hal memasak adalah Shinjo. Memang sih dalam hal merajut, menjahit, atau kerajinan tangan, Sasuke lebih terlatih daripada Shinjo.

Ia duduk di atas tempat tidurnya yang sudah dirapikannya tadi, dan menarik laci meja tulisnya yang terletak tidak jauh dari tempat tidurnya, paling tidak masih dalam jangkauan tangannya. Ia menarik keluar secarik kertas yang sudah lusuh dan warnanya sudah agak kekuningan, tetapi masih terlipat rapi dari dalam laci meja tulisnya.

Kertas itu adalah surat pertama yang dikirimkan oleh tunangannya. Saat itu ia sedang membantu para suster di panti asuhan untuk menyiapkan kue dan dekorasi pesta untuk pesta ulang tahunnya ketika Yamazaki Kakeru, orang yang selalu berlaku layaknya kakakya, datang menghampirinya sambil memberikan sepucuk surat yang tidak diketahui dikirim dari mana dan oleh siapa, karena tidak ada nama jelas pengirim dan tidak ada alamat tetap pengirim surat itu.

Meskipun ia tidak tahu jelas pengirimnya, ia merasa senang mendapat surat itu. Itu berarti paling tidak tunangannya masih memperhatikannya, dan tidak merasa terbeban karena mereka ditunangkan sejak bayi.

Perlahan-lahan, ia membuka lipatan kertas surat itu, dan mulai membaca tulisan tangan rapi yang tertulis di atas kertas polos itu.

Untuk Sasuke tersayang,

Hei Sasuke. Sudah lama bukan sejak kita terakhir kali bertemu? Hahah, atau lebih tepatnya dipertemukan. Sejujurnya aku sendiri belum pernah melihatmu, tapi aku tahu, dan aku yakin aku menyayangimu. Sangat menyayangimu.

Hari ini adalah hari ulang tahunmu yang kesepuluh, bukan? Apa kau tidak berniat memberiku selamat karena aku telah memperkirakan waktu sampainya surat ini ke tanganmu? Heheh.

Hari ini kau genap berusia sepuluh tahun. Itu berarti aku hanya perlu menunggu lima tahun lagi sebelum aku boleh datang menghampirimu. Aku minta maaf karena tidak bisa mencarimu sekarang, tapi itu adalah aturan yang diberikan orang tua kita. Aku harap kau bisa maklum.

Kau masih menjaga cincin pertunangan kita ‘kan? Aku suka sekali warna putih keperak-perakkannya. Itu adalah tanda janji kita, dan aku harap kau masih menyimpannya ketika aku datang untuk menjemputmu.

Sekian dulu surat dariku, tunggu kedatanganku, tepat pada hari ulang tahunmu yang kelima belas.

Salam sayang,

Tunanganmu
Kalau ia saat itu tidak kelewat terharu karena akhirnya tunangannya mengirimkan kabar padanya, ia pasti akan tertawa keras sekali melihat jeleknya surat itu. Tidak puitis, tidak romantis. Tapi ia tidak peduli. Ia lebih menyukai orang yang memperhatikannya tanpa harus menunjukkannya dengan kepuitisan dan keromantisan.

Ia melipat kertas itu, dan menaruhnya kembali di dalam laci meja tulisnya. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang kelima belas. Ia ingin mengetahui apakah tunangannya masih mengingat janjinya dan benar-benar akan datang.

Ia menarik rantai perak yang melingkar di lehernya, dan memperhatikan cincin platina yang berada di ujungnya. Cincin berukuran kecil itu memang mungkin tidak lagi muat di jarinya. Itu adalah cincin pertunangan yang dibicarakan tunangannya di suratnya itu. Cincin ini dibelikan oleh ibu mereka ketika mereka masih bayi, jadi tidak heran bila ukurannya kecil sekali.

“Sasuke, sudah belum? Sayurnya sudah mau dingin nih!” teriak Shinjo dari bawah, dan Sasuke langsung terlonjak kaget.

Siapa yang tahu suara kakaknya bisa sekeras suara hewan ternak yang sebentar lagi akan dijagal di tempat penjagalan?

“Sudah, sudah,” jawab Sasuke refleks sambil berlari keluar dari kamarnya, dan menuruni tangga. Ia lalu berlari ke arah ruang makan, dan melihat Shinjo sudah duduk menungguinya di meja makan dengan tampang tidak sabar.

“Lama sekali, kamu buang air besar?” tanya Shinjo sambil mengangkat sebelah alisnya ke arah Sasuke yang langsung menarik tempat duduk dan duduk di hadapan sebuah mangkuk berisi nasi yang telah disiapkan Shinjo untuknya.

“Enak saja,” balas Sasuke kesal. “Aku hanya… bernostalgia sedikit,” jawabnya asal. Memangnya apa yang dilakukannya tadi kalau bukan bernostalgia?

“Ya, ya,” balas Shinjo cuek dan Sasuke langsung melotot ke arahnya. “Sudah, sudah, ayo cepat makan, nanti kau terlambat,” perintahnya, dan akhirnya Sasuke mengambil sumpitnya dan mulai memakan sarapan yang telah disediakan oleh Shinjo.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Pagi Sasuna,” sapa seorang laki-laki berambut cokelat tua panjang sambil berjalan menyusuri koridor sekolah mereka.

“Pagi Kak Kakeru,” Sasuke balas menyapa ketika ia melihat siapa yang memanggilnya. Kakeru bernasib sama dengannya, dan mereka tinggal bersama di panti asuhan itu selama lima tahun.

“Hahah, terhormat sekali aku ini, Shinjo saja tidak kau panggil Kak,” ujar Kakeru sambil tertawa kecil.

“Ah, tidak juga… tunggu, sepertinya memang aku tidak pernah memanggilnya Kak,” gumam Sasuke pada dirinya sendiri.

“Bagaimana keadaan rumahmu? Kalian baik-baik saja?” tanya Kakeru sambil tersenyum ke arah adiknya itu.

“Yah, kami sehat-sehat saja kok,” jawab Sasuke sambil mengangkat bahunya dan ekspresi di wajah Kakeru berubah menjadi lucu sekali. “Lho? Memangnya aku ada salah ngomong?” tanya Sasuke.

“Tidak,” jawab Kakeru sambil menggelengkan kepalanya, nampaknya ia pasrah. “Tidak salah kok,” tambahnya.

“Ah,” ujar Sasuke sambil menengok ke atas. “Aku sudah sampai, aku duluan ya,” ujarnya, dan ia berjalan masuk ke dalam kelasnya.

“Hm… ia tidak pernah memanggilnya Kak…” gumam Kakeru pada dirinya sendiri. “Mungkin ini sebuah pertanda,” tambahnya sambil mengangkat bahunya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Selamat ulang tahun, Sasuna,” ujar Kakeru menyelamatinya sambil tersenyum lebar. Ia bangga akan perkembangan adiknya selama tiga tahun terakhir ini.

“Terima kasih, Kak Kakeru,” balas Sasuke sambil balas tersenyum. Mereka berdua sudah terlihat seperti orang-orang yang baru saja kabur dari rumah sakit jiwa terdekat.

“Oh ya, katanya tunanganmu mau menemuimu hari ini ya?” tanya Kakeru dengan wajah tidak berdosa seakan-akan ia baru saja menanyakan cuaca hari itu.

“Ha- hah? Tahu dari mana?” tanya Sasuke yang berusaha keras agar ia tidak gelagapan.

“Aku sudah bertemu langsung dengan tunanganmu kok,” jawab Kakeru enteng.

“Sudah bertemu langsung dengan Kak Kakeru…” gumam Sasuke dalam hati. “Itu berarti tunanganku sudah berada di dekatku untuk beberapa waktu, tapi belum berada di dekatku sebelum aku berumur sepuluh…”

“Hei, Sasuna,” panggil Kakeru sambil melambaikan tangannya di depan wajah Sasuke yang kelihatan sedang berpikir keras. “Jangan terlalu dipikirkan, nanti otakmu meledak,” ujarnya bercanda.

“Kurang ajar, memangnya kau kira aku sebodoh itu?” protes Sasuke, dan mereka pun berkejaran keliling sekolah, seperti biasa. Para murid masih heran mengapa di sekitar lingkungan sekolah tidak terbentuk lintasan akibat derap kaki mereka.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Aku pulang,” teriak Sasuke sesaat setelah ia berjalan masuk ke dalam rumahnya, ke dalam kediaman Kishikawa yang cukup besar meskipun tidak ditinggali. Pada awalnya ia sempat curiga, tapi memutuskan untuk tidak ikut campur dalam urusan keluarga lain.

“Selamat datang,” balas Shinjo yang kebetulan sedang berada di dapur. Ia sedang menyiapkan banyak sekali makanan.

“Lho? Siapa yang mau menikah nih?” tanya Sasuke bercanda melihat banyaknya makanan yang disiapkan Shinjo.

“Kamu sudah mau menikah toh? Kok tidak bilang?” Shinjo balas bertanya.

“Ah dasar, aku pasti selalu kalah bila mengisengimu,” gerutu Sasuke. Ia menarik kursi dan duduk di atasnya. “Memangnya kamu lagi rajin dan kita lagi kebanyakan stok makanan ya?” tanyanya.

“Hei, hari ulang tahun adikku tersayang tidak boleh dilewatkan,” ujar Shinjo sambil menyengir ke arah Sasuke.

“Lho? Memangnya ia tahu?” pikirnya dalam hati. “Ah, mungkin Ibu memberitahukannya padanya,” tambahnya cuek.

“Kau mandi dulu sana, lalu berpakaianlah yang pantas,” pesan Shinjo sambil meneruskan masaknya. Ia bahkan membuat kue ulang tahun.

“Memangnya kita mengundang orang?” tanya Sasuke, tapi Shinjo tidak menjawab. Ia akhirnya bangkit berdiri, mengambil tasnya, dan berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap mandi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Setelah acara makan-makan yang –menurut Sasuke- lumayan enak, mereka duduk-duduk di ruang keluarga, sebentar-sebentar mengganti acara TV yang sedang ditayangkan, berusaha mencari sesuatu yang menarik untuk ditonton.

“Oh ya, Sasuke,” panggil Shinjo sambil merogoh kantong bajunya.

Sasuke menoleh. Shinjo tidak pernah memanggilnya Sasuke sebelumnya. Ia bahkan meragukan apakah Shinjo tahu bahwa ia sebenarnya Sasuke, karena ibu angkatnya merahasiakan hal itu.

“Ini hadiah ulang tahunmu,” ujar Shinjo sambil menarik tangan Sasuke, dan menyelipkan sebuah cincin platina ke jari manis Sasuke. “Dengan ini janjiku sudah kutepati,”

“S- Shin? Apa maksudmu?” tanya Sasuke sambil mengerutkan dahinya.

“Akulah tunanganmu,” jawab Shinjo dengan tenang. “Ibu berencana memberikan rumah ini kepada kita. Ia juga mengangkatmu anak untuk mempertemukan kita saja,” jelasnya.

Sasuke tidak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti mendapat berita bahwa ia baru saja memenangkan undian sebesar dua juta yen.

“Maaf aku telah membuatmu menunggu,” ujar Shinjo sebelum akhirnya memeluk Sasuke.

“Bodoh,” bisik Sasuke. “Untuk apa meminta maaf?” tanyanya, dan air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia merasa amat bahagia saat itu.

Shinjo tersenyum simpul melihat reaksi adiknya. Ia membungkukkan badannya dan...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home