My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Friday, August 18, 2006

Alone

Seorang laki-laki muda berjalan keluar dari sebuah rumah kecil yang sudah ia tempati sejak tiga tahun yang lalu. Ia mengenakan jas berwarna cokelat yang terbuat dari kain kasar, dan syal berwarna hijau biru untuk melindunginya dari udara yang sudah mulai mendingin, meksipun masih terasa kering karena saat itu masih musim gugur.

A dry breeze is blowing
The city is getting cold
I wonder how many seasons have passed
without even a sound?


Sehelai daun kering yang berwarna kekuning-kuningan melintas di depan matanya, dan ia pun menengadahkan kepalanya untuk melihat pohon besar yang daun-daunnya mulai berguguran. Pohon yang dulunya dipenuhi daun-daun segar berwarna hijau kini hampir gundul, tidak mempunyai daun sama sekali.

Angin kembali bertiup, dan ia menarik syalnya sehingga menutupi bagian bawah wajahnya yang sudah mulai kedinginan. Anginnya begitu kering, seakan menggesek kulitnya yang juga kering, dan kemudian meninggalkannya begitu saja.

Ia terus berjalan tanpa arah. Ia bahkan tidak tahu mengapa ia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan hari itu. Udara sudah semakin dingin, dan orang-orang yang bepergian keluar rumah pun semakin sedikit.

Ia berhenti lagi untuk melihat sekeliling. Semua orang yang berada di luar rumah terlalu sibuk memikirkan diri mereka sendiri. Mereka tidak memperhatikan orang lain, bahkan orang yang kebetulan berjalan di sebelah mereka.

Ia memutuskan untuk duduk di bangku panjang di depan sebuah kafe, dan merenung. Ia menengadahkan kepalanya untuk melihat langit, dan mulai berpikir.

Sudah berapa lama sejak ia tinggal sendirian? Sudah berapa banyak musim yang ia lalui sendirian, tanpa ada orang yang mempedulikannya?

All of the people coming and going
bear heavy burdens,
searching for tomorrow
within the heat haze wavering in the distance


Ia kemudian melihat lurus ke depan, memperhatikan setiap orang yang berjalan di depannya. Ada yang berjalan terburu-buru sambil membawa tas kantor, ada yang berjalan terburu-buru sambil membawa kantong belanja, ada yang berjalan dengan santai sambil membawa tas sekolah, dan masih banyak lagi.

Meskipun cara berjalan dan barang bawaan mereka berbeda, ia tahu tujuan mereka semua sama, yaitu kembali ke rumah mereka masing-masing, di mana keluarga mereka telah menunggu kepulangan mereka dengan penuh harapan.

Dan karena harapan itulah, mereka selalu dihantui oleh rasa tanggung jawab, entah kecil, entah besar. Masalah sepele seperti dipercaya untuk tidak memakan makanan yang telah disimpan untuk makan malam saja sudah membuat seseorang dihantui beban yang mungkin tidak terlihat di mata orang lain.

Mungkin mereka sendiri pun tidak menyadari keberadaan beban itu, tapi mereka tetap menanggungnya, dengan harapan bila mereka telah menanggung beban mereka dengan baik, hari esok akan menjadi lebih baik daripada hari sekarang.

Tidak peduli di mana pun orang itu, mereka selalu berusaha. Tidak hanya orang yang sedang kedinginan, berusaha membantu agar orang lain tidak ikut merasa kedinginan, dan bisa merasa hangat bersamanya. Bahkan orang yang sedang kepanasan nun jauh di sana pun berjuang. Berjuang demi hari esok yang lebih baik.

Feelings like sand
falling through my hands...
Back then, the words that pierced my heart
suddenly started to throb with pain, but...

Ia terdiam. Dulu ia juga selalu terbeban dengan hal-hal seperti itu. Tidak hanya hal yang besar saja, tapi juga hal kecil.

Setiap kali ia pulang sekolah, ia selalu terburu-buru pulang ke rumah untuk membantu orang tuanya yang sibuk kerja. Bahkan setelah ia kuliah pun ia harus selalu terburu-buru pulang ke rumah kecil yang mereka sewa berdua untuk membantu temannya membereskan kamar mereka yang sangat berantakan dan untuk membantu menyiapkan makan malam.

Ia mengangkat tangan kanannya, dan memperhatikannya. Ia meregangkan kelima jarinya, dan mendesah. Sejak kapan semua yang ia miliki lepas dari genggamannya? Mengapa ia membuka genggaman tangannya dan membiarkan semuanya terjatuh dari tangannya, seperti pasir yang mengalir turun dari tangannya dengan begitu cepatnya.

Saat itu, kata-kata teman baiknya sama sekali tidak mengena di hatinya. Ia masih menolak untuk mengakui bahwa yang ia katakan adalah kenyataan, dan apa yang harus dia lakukan.

“Di saat seperti apa pun, orang tuamu adalah yang paling penting dan yang harus diprioritaskan,”

Saat itu, dia masih bersikeras untuk tetap tinggal bersama temannya, meskipun ia sudah berkali-kali disuruh pulang oleh temannya. Saat itu adalah musim panas, dan wabah flu musim panas menyerang banyak orang di kota itu.

Orang tuanya dan teman baiknya juga terserang flu musim panas.

Karena temannya masih lebih dekat dengannya, dan karena mereka berdua tinggal serumah, ia menolak untuk pulang ke rumahnya. Ia yakin adiknya ada di rumah bersama orang tuanya dan ia yakin adiknya pasti akan merawat mereka sehingga ia merasa yakin bisa tetap di rumah kecil itu untuk mengurus teman baiknya.

Tidak lama kemudian, teman baiknya meninggal karena flu musim panas yang semakin parah. Tepat pada hari meninggalnya temannya, sebuah telegram datang mengabari kematian orang tuanya. Telegram itu dikirim oleh adiknya yang saat itu sedang berada di luar kota.

Puluhan batu serasa berjatuhan menimpanya, mengingatkannya dengan kasar tentang kebodohan yang telah ia lakukan selama musim panas itu dengan cara bersikeras tidak mau pulang.

Kini semuanya sudah terlambat, apa lagi yang bisa ia lakukan?

Dan saat itu pula, kata-kata temannya menusuk hatinya, dan terasa sakit sekali.

I've searched for pieces of myself,
counting the endless nights all the while.
These feelings are becoming so certain
I almost lose myself.
Right now, without fail, I will walk forward, however far

Hari itu pula, dirinya serasa hancur. Ia yang dulunya selalu rajin dalam membantu, mulai mempertanyakan apa hal yang pantas menjadi alasannya untuk tetap hidup… untuk tetap bekerja… dan untuk tetap membantu orang lain.

Ia mempertanyakan ke mana perginya beban yang selalu ia tanggung. Ia mempertanyakan ke mana perginya keinginan untuk cepat pulang agar ia bisa membantu orang lain yang ada di rumahnya. Ia mempertanyakan ke mana perginya keinginannya untuk tetap hidup di dunia ini.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menimbulkan prasangka-prasangka aneh dalam benaknya. Ia hampir merasa bahwa ia kini sudah tiada di dunia ini. Ia sudah tidak kuliah, ia sudah tidak bekerja. Tidak ada yang mempedulikannya, dan ia bahkan tidak tahu apakah masih ada orang yang tahu bahwa ia masih ada dan masih hidup di dunia ini.

Ia pun tidak tahu lagi mengapa ia tetap hidup di dunia ini. Mengapa ia tidak bunuh diri saja? dengan begitu ia tidak perlu lagi menanggung perasaan bersalah atau apa pun lagi.

Tapi bukankah perasaan bersalah itu adalah salah satu beban yang ingin ia tanggung?
Karena itulah, sampai saat ini, ia masih bertahan hidup, dan terus berjalan ke depan, berusaha mencari sesuatu yang ia cari, sesuatu yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaannya. Mengapa ia tetap bertahan hidup?

I wonder, why is the sky
so vast?
Even though I tried to yell, my voice didn't come
and the tears poured out

Hari sudah semakin gelap, dan kini sudah tidak ada orang lagi yang berlalu-lalang di depannya. Bahkan kafe di belakangnya pun sudah bersiap-siap tutup. Ia melihat ke atas, dan langit pun sudah berubah warna menjadi hitam keungu-unguan. Tidak ada bintang di langit, dan ia merasa seperti melihat sebuah selimut besar yang menutupi seluruh dunia.

Mengapa hari itu harus sangat gelap? Ia tidak membutuhkan kegelapan. Ia tidak membutuhkan kesendirian. Yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang mau menemaninya dalam hidupnya. Seseorang yang mau memberinya arti hidup.

Dengan kesal ia melepaskan sebuah teriakan keras yang digunakannya untuk melampiaskan seluruh kekesalah dan kesedihannya. Ia terus berteriak hingga tenggorokannya sakit dan ia tidak bisa berteriak lagi.

Ia melihat sekeliling. Bahkan setelah berteriak sekeras itu pun tidak ada yang menunjukkan kepedulian. Bahkan tidak ada yang merasa terganggu. Hal itu membuatnya merasa seakan-akan ia sudah tidak ada lagi di dunia itu, sehingga apa pun yang ia lakukan tidak akan berpengaruh pada dunia ini, dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Tanpa disadarinya, air matanya menetes, dan terus mengalir tanpa bisa dihentikannya.

I wonder where the birds are flying off to,
as they freely slice through the wind?
One can't return to the same place
as it once was in days gone by

Dari balik matanya yang sudah buram karena tertutup air matanya, ia dapat melihat sekawanan burung yang baru saja hendak bermigrasi ke selatan untuk mencari tempat yang lebih hangat.

Ia mengusap air matanya dengan lengan jasnya, dan bertanya-tanya. Mengapa burung-burung itu bisa terus berjuang untuk tetap hidup? Mengapa mereka tetap mau pergi ke selatan meskipun mereka tidak tahu apa yang akan menunggu mereka di daerah yang ada di selatan? Bukankah mereka tidak tahu apakah ada bencana yang akan menimpa mereka?

Ia pun tersadar. Tetap di sini pun tidak ada gunanya. Bila mereka tetap di sini, mereka pasti akan mati kedinginan, tetapi bila mereka mengambil kesempatan ini dan mencoba, siapa tahu mereka akan mendapatkan keselamatan dari kedinginan di daerah selatan situ.

Hal yang sama pun berlaku baginya. Sebenarnya dulu ia selalu ingin menjadi seorang arsitek yang berhasil, tetapi sejak kematian teman baiknya dan orang tuanya yang selalu memberinya semangat, ia langsung menyerah dan malah menjadi pengangguran.

Even if I give up my dream like this,
I won't suppress my soaring heartbeat.
Someday, I want to reach
as high as the clouds
I'll spread wide the wings in my heart and journey once again

Ia terus memperhatikan burung-burung itu. Burung-burung kecil yang kini membukakan matanya. Meskipun mereka harus terbang di antara burung-burung yang tidak mereka kenal, mereka tetap terbang. Mereka tetap berusaha, dan mencoba, tidak seperti dia yang menyerah dengan begitu mudahnya.

Kini ia merasa malu. Mengapa ia, seorang manusia, bisa dikalahkan oleh seekor burung?

Ia sadar bahwa meskipun ia mengorbankan mimpi-mimpinya, apa yang sudah terjadi tidak akan bisa diulang kembali. Meskipun kini ia meninggalkan keinginannya untuk menjadi arsitek, orang tuanya dan teman baiknya tidak akan kembali. Bahkan mereka mungkin akan merasa kecewa melihat keadaannya yang sekarang, yang amat tidak teratur.

Ya. Suatu saat nanti, ia pasti akan menjadi yang terbaik, demi orang tuanya, dan demi teman baiknya. Ia tidak mau lagi mengecewakan mereka.

I will reach it, without fail

Kini ia sudah mendapatkan kembali arti hidupnya, dan alasannya untuk tetap hidup. Ia tidak lagi peduli meskipun orang lain tidak mempedulikannya. Tidak ada orang yang bisa berjuang untuknya selain dirinya sendiri, dan ia pasti akan menggapai mimpinya. Pasti.

I've searched for pieces of myself,
counting the endless nights all the while.
These feelings are becoming so certain
I almost lose myself.
Right now, without fail, I will walk forward, however far


Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari sisinya, suara yang lembut. Suara itu membangunkannya dari lamunannya. Suara yang ia kenal dengan amat baik. “Sudah kuduga kamu ada di sini,” ujar suara itu.

Ketika ia berbalik, ia melihat seorang gadis muda berambut pendek yang mengenakan jas yang mirip dengan jas yang ia kenakan. Gadis itu tersenyum melihatnya, dan duduk di sebelahnya.

Gadis itu melihat ke langit, dan tersenyum lebar. “Lihat, sekarang bintangnya sudah bermunculan,” ujarnya sambil menunjuk kumpulan bintang yang kini bertaburan tidak beraturan di langit yang gelap.

Ia melihat ke atas, dan menyadari bahwa memang kini bintang-bintang itu sudah bermunculan, sama seperti cahaya harapan yang kini telah terbersit di hatinya.

Gadis itu berbalik melihatnya, dan ia juga balas berbalik memperhatikan gadis itu. “Apakah kamu sudah memutuskan untuk meneruskan studimu sebagai seorang arsitek?” tanya gadis itu dengan wajah sendu.

“Ya,” jawabnya dengan pasti, dan gadis itu terlihat terkejut mendengarnya.

Setelah ia membuang jauh-jauh rasa kagetnya, sebuah senyum menawan mengembang di wajah gadis manis itu. “Syukurlah,”

Ia menganggukkan kepalanya. “Sekarang, kamu tidak perlu merasa bersalah lagi,” ujarnya sambil merangkul gadis itu.

Gadis itu menyandarkan kepalanya ke pundaknya, dan mendesah. “Ya, Kak,”

Ia pun kembali menengok ke atas, memperhatikan bintang-bintang yang bersinar semakin cemerlang di langit gelap itu. Kini ia sudah menemukan pecahan terakhir yang membuatnya tetap bertahan hidup. Ia telah menemukan kembali mimpinya, dan adiknya, satu-satunya keluarganya yang tersisa. Satu-satunya orang yang masih mempedulikannya.

Dan ia pun berjanji, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi seorang arsitek yang handal. Demi orang tuanya, demi teman baiknya, dan juga demi adiknya.

1 Comments:

Blogger ah said...

coba kirim ke media massa aja, misalnya tabloid bpkpenabur, gadis, hai, blablabla. tulisan lo menurut gua udah layak naik kok =)

11:26 PM  

Post a Comment

<< Home