Raphael's Stories

My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Friday, August 18, 2006

Alone

Seorang laki-laki muda berjalan keluar dari sebuah rumah kecil yang sudah ia tempati sejak tiga tahun yang lalu. Ia mengenakan jas berwarna cokelat yang terbuat dari kain kasar, dan syal berwarna hijau biru untuk melindunginya dari udara yang sudah mulai mendingin, meksipun masih terasa kering karena saat itu masih musim gugur.

A dry breeze is blowing
The city is getting cold
I wonder how many seasons have passed
without even a sound?


Sehelai daun kering yang berwarna kekuning-kuningan melintas di depan matanya, dan ia pun menengadahkan kepalanya untuk melihat pohon besar yang daun-daunnya mulai berguguran. Pohon yang dulunya dipenuhi daun-daun segar berwarna hijau kini hampir gundul, tidak mempunyai daun sama sekali.

Angin kembali bertiup, dan ia menarik syalnya sehingga menutupi bagian bawah wajahnya yang sudah mulai kedinginan. Anginnya begitu kering, seakan menggesek kulitnya yang juga kering, dan kemudian meninggalkannya begitu saja.

Ia terus berjalan tanpa arah. Ia bahkan tidak tahu mengapa ia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan hari itu. Udara sudah semakin dingin, dan orang-orang yang bepergian keluar rumah pun semakin sedikit.

Ia berhenti lagi untuk melihat sekeliling. Semua orang yang berada di luar rumah terlalu sibuk memikirkan diri mereka sendiri. Mereka tidak memperhatikan orang lain, bahkan orang yang kebetulan berjalan di sebelah mereka.

Ia memutuskan untuk duduk di bangku panjang di depan sebuah kafe, dan merenung. Ia menengadahkan kepalanya untuk melihat langit, dan mulai berpikir.

Sudah berapa lama sejak ia tinggal sendirian? Sudah berapa banyak musim yang ia lalui sendirian, tanpa ada orang yang mempedulikannya?

All of the people coming and going
bear heavy burdens,
searching for tomorrow
within the heat haze wavering in the distance


Ia kemudian melihat lurus ke depan, memperhatikan setiap orang yang berjalan di depannya. Ada yang berjalan terburu-buru sambil membawa tas kantor, ada yang berjalan terburu-buru sambil membawa kantong belanja, ada yang berjalan dengan santai sambil membawa tas sekolah, dan masih banyak lagi.

Meskipun cara berjalan dan barang bawaan mereka berbeda, ia tahu tujuan mereka semua sama, yaitu kembali ke rumah mereka masing-masing, di mana keluarga mereka telah menunggu kepulangan mereka dengan penuh harapan.

Dan karena harapan itulah, mereka selalu dihantui oleh rasa tanggung jawab, entah kecil, entah besar. Masalah sepele seperti dipercaya untuk tidak memakan makanan yang telah disimpan untuk makan malam saja sudah membuat seseorang dihantui beban yang mungkin tidak terlihat di mata orang lain.

Mungkin mereka sendiri pun tidak menyadari keberadaan beban itu, tapi mereka tetap menanggungnya, dengan harapan bila mereka telah menanggung beban mereka dengan baik, hari esok akan menjadi lebih baik daripada hari sekarang.

Tidak peduli di mana pun orang itu, mereka selalu berusaha. Tidak hanya orang yang sedang kedinginan, berusaha membantu agar orang lain tidak ikut merasa kedinginan, dan bisa merasa hangat bersamanya. Bahkan orang yang sedang kepanasan nun jauh di sana pun berjuang. Berjuang demi hari esok yang lebih baik.

Feelings like sand
falling through my hands...
Back then, the words that pierced my heart
suddenly started to throb with pain, but...

Ia terdiam. Dulu ia juga selalu terbeban dengan hal-hal seperti itu. Tidak hanya hal yang besar saja, tapi juga hal kecil.

Setiap kali ia pulang sekolah, ia selalu terburu-buru pulang ke rumah untuk membantu orang tuanya yang sibuk kerja. Bahkan setelah ia kuliah pun ia harus selalu terburu-buru pulang ke rumah kecil yang mereka sewa berdua untuk membantu temannya membereskan kamar mereka yang sangat berantakan dan untuk membantu menyiapkan makan malam.

Ia mengangkat tangan kanannya, dan memperhatikannya. Ia meregangkan kelima jarinya, dan mendesah. Sejak kapan semua yang ia miliki lepas dari genggamannya? Mengapa ia membuka genggaman tangannya dan membiarkan semuanya terjatuh dari tangannya, seperti pasir yang mengalir turun dari tangannya dengan begitu cepatnya.

Saat itu, kata-kata teman baiknya sama sekali tidak mengena di hatinya. Ia masih menolak untuk mengakui bahwa yang ia katakan adalah kenyataan, dan apa yang harus dia lakukan.

“Di saat seperti apa pun, orang tuamu adalah yang paling penting dan yang harus diprioritaskan,”

Saat itu, dia masih bersikeras untuk tetap tinggal bersama temannya, meskipun ia sudah berkali-kali disuruh pulang oleh temannya. Saat itu adalah musim panas, dan wabah flu musim panas menyerang banyak orang di kota itu.

Orang tuanya dan teman baiknya juga terserang flu musim panas.

Karena temannya masih lebih dekat dengannya, dan karena mereka berdua tinggal serumah, ia menolak untuk pulang ke rumahnya. Ia yakin adiknya ada di rumah bersama orang tuanya dan ia yakin adiknya pasti akan merawat mereka sehingga ia merasa yakin bisa tetap di rumah kecil itu untuk mengurus teman baiknya.

Tidak lama kemudian, teman baiknya meninggal karena flu musim panas yang semakin parah. Tepat pada hari meninggalnya temannya, sebuah telegram datang mengabari kematian orang tuanya. Telegram itu dikirim oleh adiknya yang saat itu sedang berada di luar kota.

Puluhan batu serasa berjatuhan menimpanya, mengingatkannya dengan kasar tentang kebodohan yang telah ia lakukan selama musim panas itu dengan cara bersikeras tidak mau pulang.

Kini semuanya sudah terlambat, apa lagi yang bisa ia lakukan?

Dan saat itu pula, kata-kata temannya menusuk hatinya, dan terasa sakit sekali.

I've searched for pieces of myself,
counting the endless nights all the while.
These feelings are becoming so certain
I almost lose myself.
Right now, without fail, I will walk forward, however far

Hari itu pula, dirinya serasa hancur. Ia yang dulunya selalu rajin dalam membantu, mulai mempertanyakan apa hal yang pantas menjadi alasannya untuk tetap hidup… untuk tetap bekerja… dan untuk tetap membantu orang lain.

Ia mempertanyakan ke mana perginya beban yang selalu ia tanggung. Ia mempertanyakan ke mana perginya keinginan untuk cepat pulang agar ia bisa membantu orang lain yang ada di rumahnya. Ia mempertanyakan ke mana perginya keinginannya untuk tetap hidup di dunia ini.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menimbulkan prasangka-prasangka aneh dalam benaknya. Ia hampir merasa bahwa ia kini sudah tiada di dunia ini. Ia sudah tidak kuliah, ia sudah tidak bekerja. Tidak ada yang mempedulikannya, dan ia bahkan tidak tahu apakah masih ada orang yang tahu bahwa ia masih ada dan masih hidup di dunia ini.

Ia pun tidak tahu lagi mengapa ia tetap hidup di dunia ini. Mengapa ia tidak bunuh diri saja? dengan begitu ia tidak perlu lagi menanggung perasaan bersalah atau apa pun lagi.

Tapi bukankah perasaan bersalah itu adalah salah satu beban yang ingin ia tanggung?
Karena itulah, sampai saat ini, ia masih bertahan hidup, dan terus berjalan ke depan, berusaha mencari sesuatu yang ia cari, sesuatu yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaannya. Mengapa ia tetap bertahan hidup?

I wonder, why is the sky
so vast?
Even though I tried to yell, my voice didn't come
and the tears poured out

Hari sudah semakin gelap, dan kini sudah tidak ada orang lagi yang berlalu-lalang di depannya. Bahkan kafe di belakangnya pun sudah bersiap-siap tutup. Ia melihat ke atas, dan langit pun sudah berubah warna menjadi hitam keungu-unguan. Tidak ada bintang di langit, dan ia merasa seperti melihat sebuah selimut besar yang menutupi seluruh dunia.

Mengapa hari itu harus sangat gelap? Ia tidak membutuhkan kegelapan. Ia tidak membutuhkan kesendirian. Yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang mau menemaninya dalam hidupnya. Seseorang yang mau memberinya arti hidup.

Dengan kesal ia melepaskan sebuah teriakan keras yang digunakannya untuk melampiaskan seluruh kekesalah dan kesedihannya. Ia terus berteriak hingga tenggorokannya sakit dan ia tidak bisa berteriak lagi.

Ia melihat sekeliling. Bahkan setelah berteriak sekeras itu pun tidak ada yang menunjukkan kepedulian. Bahkan tidak ada yang merasa terganggu. Hal itu membuatnya merasa seakan-akan ia sudah tidak ada lagi di dunia itu, sehingga apa pun yang ia lakukan tidak akan berpengaruh pada dunia ini, dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Tanpa disadarinya, air matanya menetes, dan terus mengalir tanpa bisa dihentikannya.

I wonder where the birds are flying off to,
as they freely slice through the wind?
One can't return to the same place
as it once was in days gone by

Dari balik matanya yang sudah buram karena tertutup air matanya, ia dapat melihat sekawanan burung yang baru saja hendak bermigrasi ke selatan untuk mencari tempat yang lebih hangat.

Ia mengusap air matanya dengan lengan jasnya, dan bertanya-tanya. Mengapa burung-burung itu bisa terus berjuang untuk tetap hidup? Mengapa mereka tetap mau pergi ke selatan meskipun mereka tidak tahu apa yang akan menunggu mereka di daerah yang ada di selatan? Bukankah mereka tidak tahu apakah ada bencana yang akan menimpa mereka?

Ia pun tersadar. Tetap di sini pun tidak ada gunanya. Bila mereka tetap di sini, mereka pasti akan mati kedinginan, tetapi bila mereka mengambil kesempatan ini dan mencoba, siapa tahu mereka akan mendapatkan keselamatan dari kedinginan di daerah selatan situ.

Hal yang sama pun berlaku baginya. Sebenarnya dulu ia selalu ingin menjadi seorang arsitek yang berhasil, tetapi sejak kematian teman baiknya dan orang tuanya yang selalu memberinya semangat, ia langsung menyerah dan malah menjadi pengangguran.

Even if I give up my dream like this,
I won't suppress my soaring heartbeat.
Someday, I want to reach
as high as the clouds
I'll spread wide the wings in my heart and journey once again

Ia terus memperhatikan burung-burung itu. Burung-burung kecil yang kini membukakan matanya. Meskipun mereka harus terbang di antara burung-burung yang tidak mereka kenal, mereka tetap terbang. Mereka tetap berusaha, dan mencoba, tidak seperti dia yang menyerah dengan begitu mudahnya.

Kini ia merasa malu. Mengapa ia, seorang manusia, bisa dikalahkan oleh seekor burung?

Ia sadar bahwa meskipun ia mengorbankan mimpi-mimpinya, apa yang sudah terjadi tidak akan bisa diulang kembali. Meskipun kini ia meninggalkan keinginannya untuk menjadi arsitek, orang tuanya dan teman baiknya tidak akan kembali. Bahkan mereka mungkin akan merasa kecewa melihat keadaannya yang sekarang, yang amat tidak teratur.

Ya. Suatu saat nanti, ia pasti akan menjadi yang terbaik, demi orang tuanya, dan demi teman baiknya. Ia tidak mau lagi mengecewakan mereka.

I will reach it, without fail

Kini ia sudah mendapatkan kembali arti hidupnya, dan alasannya untuk tetap hidup. Ia tidak lagi peduli meskipun orang lain tidak mempedulikannya. Tidak ada orang yang bisa berjuang untuknya selain dirinya sendiri, dan ia pasti akan menggapai mimpinya. Pasti.

I've searched for pieces of myself,
counting the endless nights all the while.
These feelings are becoming so certain
I almost lose myself.
Right now, without fail, I will walk forward, however far


Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari sisinya, suara yang lembut. Suara itu membangunkannya dari lamunannya. Suara yang ia kenal dengan amat baik. “Sudah kuduga kamu ada di sini,” ujar suara itu.

Ketika ia berbalik, ia melihat seorang gadis muda berambut pendek yang mengenakan jas yang mirip dengan jas yang ia kenakan. Gadis itu tersenyum melihatnya, dan duduk di sebelahnya.

Gadis itu melihat ke langit, dan tersenyum lebar. “Lihat, sekarang bintangnya sudah bermunculan,” ujarnya sambil menunjuk kumpulan bintang yang kini bertaburan tidak beraturan di langit yang gelap.

Ia melihat ke atas, dan menyadari bahwa memang kini bintang-bintang itu sudah bermunculan, sama seperti cahaya harapan yang kini telah terbersit di hatinya.

Gadis itu berbalik melihatnya, dan ia juga balas berbalik memperhatikan gadis itu. “Apakah kamu sudah memutuskan untuk meneruskan studimu sebagai seorang arsitek?” tanya gadis itu dengan wajah sendu.

“Ya,” jawabnya dengan pasti, dan gadis itu terlihat terkejut mendengarnya.

Setelah ia membuang jauh-jauh rasa kagetnya, sebuah senyum menawan mengembang di wajah gadis manis itu. “Syukurlah,”

Ia menganggukkan kepalanya. “Sekarang, kamu tidak perlu merasa bersalah lagi,” ujarnya sambil merangkul gadis itu.

Gadis itu menyandarkan kepalanya ke pundaknya, dan mendesah. “Ya, Kak,”

Ia pun kembali menengok ke atas, memperhatikan bintang-bintang yang bersinar semakin cemerlang di langit gelap itu. Kini ia sudah menemukan pecahan terakhir yang membuatnya tetap bertahan hidup. Ia telah menemukan kembali mimpinya, dan adiknya, satu-satunya keluarganya yang tersisa. Satu-satunya orang yang masih mempedulikannya.

Dan ia pun berjanji, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi seorang arsitek yang handal. Demi orang tuanya, demi teman baiknya, dan juga demi adiknya.

Engagement Ring

Adalah seorang remaja berwajah manis yang selama hidupnya telah terjadi berbagai kejadian aneh. Ia adalah Kikukawa Sasuke.

Ketika ia berumur tujuh tahun, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang. Sampai ia berumur dua belas tahun, ia tinggal di sebuah panti asuhan yang letaknya di pinggiran kota, sementara ketika ia berumur dua belas ia diadopsi oleh seorang wanita berkebangsaan Jepang yang tinggal di Cina dan bernama keluarga Kishikawa.

Sejak berumur delapan tahun, ia mengetahui bahwa ia mempunyai tunangan yang ditunangkannya padanya sejak ia masih bayi, dan pada saat ia berumur sepuluh tahun, tepat pada hari ulang tahunnya, ia menerima sebuah surat dari tunangannya, namun di surat itu tidak disertakan alamat tetap dan nama pengirimnya.

Ketika ia berumur lima belas, ia dipulangkan ke Jepang karena anak laki-laki wanita itu telah kembali dari studinya di Guangzhou. Bila ia tidak dipulangkan, ia pasti akan dibunuh karena di negara itu, satu keluarga tidak diperbolehkan memiliki lebih dari satu anak, dan hukum di negara itu amat ketat. Tidak bisa dilanggar.

Ia kembali bersekolah di sekolahnya yang dulu, dan kembali bertemu dengan orang yang berlaku sebagai kakaknya saat ia masih tinggal di panti asuhan itu. Tidak lama kemudian, kakak angkatnya menyusulnya ke Jepang.

Yang tidak terduga, keduanya menunjukkan tanda-tanda menyukainya, meskipun sampai saat ini ia masih belum mau mengakuinya. Maklumlah, mereka semua ‘kan sama-sama laki-laki.

Kejadian aneh yang terakhir yang dialaminya adalah kenyataan bahwa ia diangkat anak oleh wanita itu dengan ketentuan sebagai berikut, namanya harus diganti menjadi Kishikawa Sasuna, dan ia harus berperan sebagai anak perempuannya.

Sepulangnya ke Jepang pun ia masih diharuskan menjadi Sasuna, anak perempuan satu-satunya di keluarga Kishikawa.

Nah, yang menjadi masalah, mampukah ia menemukan tunangannya dengan bantuan cincin emas putih miliknya dan surat yang dikirimkan tunangannya itu?

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Sebuah jam weker berbunyi dengan nyaringnya, tapi pemilik jam weker itu masih belum juga mau keluar dari tempat tidurnya yang nyaman itu. Ia malah menarik selimut itu semakin tinggi hingga akhirnya menutupi kepalanya.

Seseorang pada akhirnya mematikan jam weker itu, dan pemiliknya yang masih terbaring dengan santainya di tempat tidur itu nyaris menghela napas lega.

“Sasuna, bangun,” panggil sebuah suara, sebuah suara yang sudah sangat ia kenal padahal mereka baru berkenalan selama dua minggu, sambil berusaha membangunkan remaja yang masih tertidur di dalam tumpukan selimut itu.

“Sebentar lagi,” keluh Sasuke sambil berbalik dan menarik selimutnya bersamanya. Ia memang tidak biasa bangun pagi. Biasanya ia bangun pukul tujuh, bukan setengah tujuh.

“Hei bangun,” panggil suara itu lagi. “Atau kau mau kakakmu yang tampan ini menggendongmu ke kamar mandi dan memandikanmu?” tanyanya dengan nada mengejek, tetapi sepertinya Sasuke tidak menanggapinya dengan humor, karena ia langsung digeplak dengan sebuah bantal yang cukup keras oleh Sasuke.

“Dasar mesum,” ujar Sasuke sambil menyisir rambutnya yang masih agak berantakan dengan tangannya. Ia duduk di kasurnya, dan menguap sedikit. “Sudah berapa kali kubilang kamu tidak boleh masuk ke kamarku, Shin?” tanya Sasuke sambil melotot ke arah kakaknya yang hanya lebih tua darinya dua bulan itu.

“Ah-ha, paling tidak sekarang kamu sudah benar-benar sadar,” ujar Shinjo -dialah putra dari keluarga Kishikawa, Kishikawa Shinjo yang kerap dipanggil Shin- sambil tersenyum. Ia masih ingat jelas saat ia dihajar Sasuke karena berusaha membangunkannya waktu itu, tetapi tidak berhasil membuatnya benar-benar terbangun. Ternyata Sasuke yang setengah sadar lebih menakutkan daripada Sasuke yang sadar.

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku,” geram Sasuke, tapi akhirnya ia menyerah. Meskipun sudah dilarang, ini sudah yang ketiga puluh kalinya Shinjo masuk ke dalam kamarnya tanpa izin. “Sekarang baru pukul setengah tujuh,” ujar Sasuke sambil memperhatikan jam yang ada di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya.

“Ya, lalu?” Shinjo bertanya.

“Kenapa kamu membangunkanku!?” protes Sasuke, dan ia pasti akan langsung tertidur lagi kalau saja Shinjo tidak menghentikannya.

“Hei, jangan sia-siakan usahaku membangunkanmu dong,” protes Shinjo sambil mengerutkan bibirnya sedikit. “Kau pikir membangunkanmu itu hal yang mudah?” tanyanya.

“Siapa yang menyuruhmu membangunkanku?” Sasuke balas bertanya sambil memeluk bantal dan selimutnya, bersiap-siap tidur kembali segera setelah Shinjo berjalan keluar dari kamarnya.

“Yah, paling tidak jam wekermu tidak akan bisa membangunkanmu, dan apakah kamu mau terlambat?” tanya Shinjo, dan Sasuke diam saja. Ia memang sudah terlambat tiga kali sebelum Shinjo menyusulnya ke Jepang karena ia tidak bisa bangun hanya karena mendengar suara jam weker. “Sudah, sudah, sana mandi,” perintah Shinjo, dan dengan berat hati Sasuke meninggalkan tempat tidur kesayangannya itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Setelah selesai mandi, sesuai dugaan, Sasuke masih memiliki banyak waktu luang. Shinjo sama sekali belum menyiapkan sarapan, dan baru mulai menyiapkan sarapan ketika Sasuke mulai mandi.

Meskipun yang lebih mirip perempuan di antara keduanya adalah Sasuke, yang lebih terlatih dalam hal memasak adalah Shinjo. Memang sih dalam hal merajut, menjahit, atau kerajinan tangan, Sasuke lebih terlatih daripada Shinjo.

Ia duduk di atas tempat tidurnya yang sudah dirapikannya tadi, dan menarik laci meja tulisnya yang terletak tidak jauh dari tempat tidurnya, paling tidak masih dalam jangkauan tangannya. Ia menarik keluar secarik kertas yang sudah lusuh dan warnanya sudah agak kekuningan, tetapi masih terlipat rapi dari dalam laci meja tulisnya.

Kertas itu adalah surat pertama yang dikirimkan oleh tunangannya. Saat itu ia sedang membantu para suster di panti asuhan untuk menyiapkan kue dan dekorasi pesta untuk pesta ulang tahunnya ketika Yamazaki Kakeru, orang yang selalu berlaku layaknya kakakya, datang menghampirinya sambil memberikan sepucuk surat yang tidak diketahui dikirim dari mana dan oleh siapa, karena tidak ada nama jelas pengirim dan tidak ada alamat tetap pengirim surat itu.

Meskipun ia tidak tahu jelas pengirimnya, ia merasa senang mendapat surat itu. Itu berarti paling tidak tunangannya masih memperhatikannya, dan tidak merasa terbeban karena mereka ditunangkan sejak bayi.

Perlahan-lahan, ia membuka lipatan kertas surat itu, dan mulai membaca tulisan tangan rapi yang tertulis di atas kertas polos itu.

Untuk Sasuke tersayang,

Hei Sasuke. Sudah lama bukan sejak kita terakhir kali bertemu? Hahah, atau lebih tepatnya dipertemukan. Sejujurnya aku sendiri belum pernah melihatmu, tapi aku tahu, dan aku yakin aku menyayangimu. Sangat menyayangimu.

Hari ini adalah hari ulang tahunmu yang kesepuluh, bukan? Apa kau tidak berniat memberiku selamat karena aku telah memperkirakan waktu sampainya surat ini ke tanganmu? Heheh.

Hari ini kau genap berusia sepuluh tahun. Itu berarti aku hanya perlu menunggu lima tahun lagi sebelum aku boleh datang menghampirimu. Aku minta maaf karena tidak bisa mencarimu sekarang, tapi itu adalah aturan yang diberikan orang tua kita. Aku harap kau bisa maklum.

Kau masih menjaga cincin pertunangan kita ‘kan? Aku suka sekali warna putih keperak-perakkannya. Itu adalah tanda janji kita, dan aku harap kau masih menyimpannya ketika aku datang untuk menjemputmu.

Sekian dulu surat dariku, tunggu kedatanganku, tepat pada hari ulang tahunmu yang kelima belas.

Salam sayang,

Tunanganmu
Kalau ia saat itu tidak kelewat terharu karena akhirnya tunangannya mengirimkan kabar padanya, ia pasti akan tertawa keras sekali melihat jeleknya surat itu. Tidak puitis, tidak romantis. Tapi ia tidak peduli. Ia lebih menyukai orang yang memperhatikannya tanpa harus menunjukkannya dengan kepuitisan dan keromantisan.

Ia melipat kertas itu, dan menaruhnya kembali di dalam laci meja tulisnya. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang kelima belas. Ia ingin mengetahui apakah tunangannya masih mengingat janjinya dan benar-benar akan datang.

Ia menarik rantai perak yang melingkar di lehernya, dan memperhatikan cincin platina yang berada di ujungnya. Cincin berukuran kecil itu memang mungkin tidak lagi muat di jarinya. Itu adalah cincin pertunangan yang dibicarakan tunangannya di suratnya itu. Cincin ini dibelikan oleh ibu mereka ketika mereka masih bayi, jadi tidak heran bila ukurannya kecil sekali.

“Sasuke, sudah belum? Sayurnya sudah mau dingin nih!” teriak Shinjo dari bawah, dan Sasuke langsung terlonjak kaget.

Siapa yang tahu suara kakaknya bisa sekeras suara hewan ternak yang sebentar lagi akan dijagal di tempat penjagalan?

“Sudah, sudah,” jawab Sasuke refleks sambil berlari keluar dari kamarnya, dan menuruni tangga. Ia lalu berlari ke arah ruang makan, dan melihat Shinjo sudah duduk menungguinya di meja makan dengan tampang tidak sabar.

“Lama sekali, kamu buang air besar?” tanya Shinjo sambil mengangkat sebelah alisnya ke arah Sasuke yang langsung menarik tempat duduk dan duduk di hadapan sebuah mangkuk berisi nasi yang telah disiapkan Shinjo untuknya.

“Enak saja,” balas Sasuke kesal. “Aku hanya… bernostalgia sedikit,” jawabnya asal. Memangnya apa yang dilakukannya tadi kalau bukan bernostalgia?

“Ya, ya,” balas Shinjo cuek dan Sasuke langsung melotot ke arahnya. “Sudah, sudah, ayo cepat makan, nanti kau terlambat,” perintahnya, dan akhirnya Sasuke mengambil sumpitnya dan mulai memakan sarapan yang telah disediakan oleh Shinjo.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Pagi Sasuna,” sapa seorang laki-laki berambut cokelat tua panjang sambil berjalan menyusuri koridor sekolah mereka.

“Pagi Kak Kakeru,” Sasuke balas menyapa ketika ia melihat siapa yang memanggilnya. Kakeru bernasib sama dengannya, dan mereka tinggal bersama di panti asuhan itu selama lima tahun.

“Hahah, terhormat sekali aku ini, Shinjo saja tidak kau panggil Kak,” ujar Kakeru sambil tertawa kecil.

“Ah, tidak juga… tunggu, sepertinya memang aku tidak pernah memanggilnya Kak,” gumam Sasuke pada dirinya sendiri.

“Bagaimana keadaan rumahmu? Kalian baik-baik saja?” tanya Kakeru sambil tersenyum ke arah adiknya itu.

“Yah, kami sehat-sehat saja kok,” jawab Sasuke sambil mengangkat bahunya dan ekspresi di wajah Kakeru berubah menjadi lucu sekali. “Lho? Memangnya aku ada salah ngomong?” tanya Sasuke.

“Tidak,” jawab Kakeru sambil menggelengkan kepalanya, nampaknya ia pasrah. “Tidak salah kok,” tambahnya.

“Ah,” ujar Sasuke sambil menengok ke atas. “Aku sudah sampai, aku duluan ya,” ujarnya, dan ia berjalan masuk ke dalam kelasnya.

“Hm… ia tidak pernah memanggilnya Kak…” gumam Kakeru pada dirinya sendiri. “Mungkin ini sebuah pertanda,” tambahnya sambil mengangkat bahunya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Selamat ulang tahun, Sasuna,” ujar Kakeru menyelamatinya sambil tersenyum lebar. Ia bangga akan perkembangan adiknya selama tiga tahun terakhir ini.

“Terima kasih, Kak Kakeru,” balas Sasuke sambil balas tersenyum. Mereka berdua sudah terlihat seperti orang-orang yang baru saja kabur dari rumah sakit jiwa terdekat.

“Oh ya, katanya tunanganmu mau menemuimu hari ini ya?” tanya Kakeru dengan wajah tidak berdosa seakan-akan ia baru saja menanyakan cuaca hari itu.

“Ha- hah? Tahu dari mana?” tanya Sasuke yang berusaha keras agar ia tidak gelagapan.

“Aku sudah bertemu langsung dengan tunanganmu kok,” jawab Kakeru enteng.

“Sudah bertemu langsung dengan Kak Kakeru…” gumam Sasuke dalam hati. “Itu berarti tunanganku sudah berada di dekatku untuk beberapa waktu, tapi belum berada di dekatku sebelum aku berumur sepuluh…”

“Hei, Sasuna,” panggil Kakeru sambil melambaikan tangannya di depan wajah Sasuke yang kelihatan sedang berpikir keras. “Jangan terlalu dipikirkan, nanti otakmu meledak,” ujarnya bercanda.

“Kurang ajar, memangnya kau kira aku sebodoh itu?” protes Sasuke, dan mereka pun berkejaran keliling sekolah, seperti biasa. Para murid masih heran mengapa di sekitar lingkungan sekolah tidak terbentuk lintasan akibat derap kaki mereka.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Aku pulang,” teriak Sasuke sesaat setelah ia berjalan masuk ke dalam rumahnya, ke dalam kediaman Kishikawa yang cukup besar meskipun tidak ditinggali. Pada awalnya ia sempat curiga, tapi memutuskan untuk tidak ikut campur dalam urusan keluarga lain.

“Selamat datang,” balas Shinjo yang kebetulan sedang berada di dapur. Ia sedang menyiapkan banyak sekali makanan.

“Lho? Siapa yang mau menikah nih?” tanya Sasuke bercanda melihat banyaknya makanan yang disiapkan Shinjo.

“Kamu sudah mau menikah toh? Kok tidak bilang?” Shinjo balas bertanya.

“Ah dasar, aku pasti selalu kalah bila mengisengimu,” gerutu Sasuke. Ia menarik kursi dan duduk di atasnya. “Memangnya kamu lagi rajin dan kita lagi kebanyakan stok makanan ya?” tanyanya.

“Hei, hari ulang tahun adikku tersayang tidak boleh dilewatkan,” ujar Shinjo sambil menyengir ke arah Sasuke.

“Lho? Memangnya ia tahu?” pikirnya dalam hati. “Ah, mungkin Ibu memberitahukannya padanya,” tambahnya cuek.

“Kau mandi dulu sana, lalu berpakaianlah yang pantas,” pesan Shinjo sambil meneruskan masaknya. Ia bahkan membuat kue ulang tahun.

“Memangnya kita mengundang orang?” tanya Sasuke, tapi Shinjo tidak menjawab. Ia akhirnya bangkit berdiri, mengambil tasnya, dan berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap mandi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Setelah acara makan-makan yang –menurut Sasuke- lumayan enak, mereka duduk-duduk di ruang keluarga, sebentar-sebentar mengganti acara TV yang sedang ditayangkan, berusaha mencari sesuatu yang menarik untuk ditonton.

“Oh ya, Sasuke,” panggil Shinjo sambil merogoh kantong bajunya.

Sasuke menoleh. Shinjo tidak pernah memanggilnya Sasuke sebelumnya. Ia bahkan meragukan apakah Shinjo tahu bahwa ia sebenarnya Sasuke, karena ibu angkatnya merahasiakan hal itu.

“Ini hadiah ulang tahunmu,” ujar Shinjo sambil menarik tangan Sasuke, dan menyelipkan sebuah cincin platina ke jari manis Sasuke. “Dengan ini janjiku sudah kutepati,”

“S- Shin? Apa maksudmu?” tanya Sasuke sambil mengerutkan dahinya.

“Akulah tunanganmu,” jawab Shinjo dengan tenang. “Ibu berencana memberikan rumah ini kepada kita. Ia juga mengangkatmu anak untuk mempertemukan kita saja,” jelasnya.

Sasuke tidak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti mendapat berita bahwa ia baru saja memenangkan undian sebesar dua juta yen.

“Maaf aku telah membuatmu menunggu,” ujar Shinjo sebelum akhirnya memeluk Sasuke.

“Bodoh,” bisik Sasuke. “Untuk apa meminta maaf?” tanyanya, dan air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia merasa amat bahagia saat itu.

Shinjo tersenyum simpul melihat reaksi adiknya. Ia membungkukkan badannya dan...

Kesedihan Seorang Putri

“Kakak,” panggil seorang anak kecil yang baru berumur sekitar sepuluh tahun sambil memperhatikan kakaknya yang sedang berdiri di depan pintu gerbang belakang dari istana kerajaan itu. “Kakak mau ke mana?” tanyanya sambil menyipitkan matanya, air mata mulai berkumpul di sudut matanya.

“Sherry,” pangil kakaknya, seorang remaja berumur sembilan belas tahun, dengan penuh rasa sayang. Rambutnya yang berwarna hitam tergerai di sisi wajahnya, membuatnya tampak menawan. Ia memakai jubah panjang agar ia tidak dikenali orang begitu ia berjalan keluar dari daerah istana. “Aku tidak akan pergi meninggalkanmu, aku janji,” ujarnya sambil membelai kepala adiknya perlahan-lahan, mengacak-acak rambut pirang adiknya. “Aku akan tetap di sini sampai akhir hidupku,” tambahnya, dan dengan sebuah senyum yang meyakinkan, ia berbalik dan berjalan keluar dari pintu gerbang itu, meninggalkan adiknya yang hanya bisa menatapnya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Dengan langkah pelan, Sherry berjalan masuk ke dalam istana itu. Istana itu berukuran amat besar, dan dindingnya semua terbuat dari batu yang amat keras. Rasanya seperti berada di dalam penjara.

Ia bisa mengerti mengapa kakaknya terus-menerus kabur dari lingkungan istana itu dan berjalan-jalan di desa di depan istana. Menurut kakaknya, kehidupan orang-orang desa lebih menarik daripada kehidupan orang-orang yang adalah keturunan bangsawan. Orang tua mereka tidak tahu, tetapi kakaknya sudah berteman dengan banyak sekali pemuda-pemudi desa itu, dengan menggunakan sosok keduanya.

Setiap kali keluar dari lingkungan istana, kakaknya selalu mengenakan jubah panjang lusuh berwarna hitam itu. Jubah itu adalah peninggalan dari seorang prajurit istana, yang kemudian gugur di medan perang ketika terjadi perang tiga tahun yang lalu. Sebuah acara pemakaman diadakan untuk menghargainya, dan semua orang datang untuk mendoakannya. Yang anehnya, kakaknya menangis sangat histeris melihat mayat prajurit itu di dalam peti mati berwarna hitam berkilau. Menurut orang tua mereka, itu karena prajurit itu dulu bekerja sebagai instruktur bela dirinya, dan sangat dekat dengannya, seperti kakak beradik.

Ia menengok ke luar jendela sebentar, dan memperhatikan desa yang ada di bawah bukit rendah itu. Kelihatannya ramai sekali. Di daerah pasar, banyak orang berlalu-lalang, berjualan, dan membeli barang-barang. Ia juga ingin pergi ke sana, walau hanya sekali, tetapi ia tidak bisa.

Ibunya berkata bahwa ia masih kecil, belum bisa menjaga dirinya sendiri. Dan dari wajahnya saja, dapat diketahui bahwa ia adalah keturunan bangsawan, tidak seperti kakaknya yang wajahnya seperti orang pada umumnya. Dan juga karena namanya. Sherry bukanlah nama yang umum.

“Pantas Kakak sampai membuat nama palsu,” gumam Sherry. Ia menopang dagunya dengan kedua tangannya, dan melihat ke kejauhan. Ia merasa iri sekali pada kakaknya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kakaknya selalu baik terhadapnya, dan ia tidak mau membalas kebaikan itu dengan kejahatan.

“Putri Sherry,” panggil sebuah suara dari belakangnya, dan Sherry langsung berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Di belakangnya, berdiri seorang pria tinggi berambut hitam acak-acakan. Dia adalah pengganti prajurit istana yang telah meninggal itu. “Sedang apa di sini?” tanyanya sambil berlutut agar Sherry tidak perlu menengok ke atas untuk melihat wajahnya.

“Kurt,” sapa Sherry sambil memaksakan sebuah senyum ke arah prajurit itu. “Aku hanya sedang melihat-lihat keadaan desa dari sini. Dari sini, desa terlihat amat jelas,” jawab Sherry sambil berbalik dan menghadap jendela itu lagi.

“Berhati-hatilah, jangan sampai Anda terjatuh,” pesan Kurt, dan ia bangkit berdiri. “Apakah Anda tahu di mana kakakmu berada?” tanyanya sambil melirik ke bawah, memperhatikan Sherry yang sepertinya ingin sekali melompat keluar dan berlari menuju desa kecil itu.

“Myria?” tanya Sherry sambil menengok ke arah Kurt. “Ia sedang berjalan-jalan, tidak lama lagi pasti pulang,” jawab Sherry dengan nada ragu-ragu. “Ada apa kamu mencarinya?” tanyanya lagi.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin mengetahui keberadaannya, itu saja,” jawab Kurt, dan ia bersiap-siap pergi.

“Kurt,” panggil Sherry sambil berbalik. Panggilannya membuat prajurit itu menghentikan langkahnya. “Mengapa kamu selalu memanggilnya seperti itu, tidak pernah dengan namanya?” tanya Sherry sambil mengernyitkan dahinya.

Kurt terdiam untuk beberapa saat, sebelum ia tertawa kecil. “Itu bukan masalah besar, Putri Sherry,” jawabnya sambil tersenyum ramah ke arah putri kecil itu. “Suatu saat kau akan mengetahuinya,” tambahnya, dan ia pun berjalan pergi dari hadapan Sherry.

Dan sekali lagi, Sherry hanya bisa diam sambil menatapnya berjalan pergi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Esok harinya, para pangeran dari kerajaan tetangga datang dan berkumpul di ruang pesta istana itu. Semuanya datang dengan pengawal pribadinya. Mereka semua berpakaian mewah, dan mereka sangat yakin akan bisa mendapatkan hati sang putri kerajaan itu yang konon katanya amat cantik.

Baru saja mereka berkumpul di hadapan singgasana raja, seorang putri dengan gaun berwarna biru tua berjalan keluar dari ruangannya dan berdiri tepat di depan semua pangeran yang ada di situ.

Semua pangeran itu memperhatikannya dengan takjub. Mereka memang sering mendengar bahwa putri dari kerajaan ini amat cantik, tetapi ketika mereka melihatnya secara langsung, mereka tetap terkejut melihat kecantikannya.

“Myria, apa yang kau lakukan?” tanya raja kerajaan itu sambil memperhatikan Myria yang berdiri di depannya sambil memperhatikan para pangeran itu. “Belum saatnya kau berada di sini. Kembalilah ke kamarmu,” perintahnya.

“Hei,” panggil Myria, dan semua pangeran beserta pengawal pribadi yang ada di situ memperhatikannya. “Sedang apa kalian semua di sini!? Aku tidak butuh laki-laki manja seperti kalian semua! Pergi dari sini!”

Para pangeran terkejut mendengar kata-katanya. Memangnya dia pikir dia siapa, berani-beraninya berbicara seperti itu kepada seorang pangeran, pikir mereka.

Kurt berjalan memasuki ruangan pesta itu dan berdiri di sebelah Myria. “Ini adalah perintah langsung darinya, mohon dituruti,” ujarnya sambil membungkukkan badannya untuk memberi hormat.

“Kurt, tidak perlu membelaku,” ujar Myria tenang. “Lagipula tidak mungkin mereka mau menikahiku,” tambahnya sambil melihat ke bawah dengan wajah sedih.

Semua yang ada di situ langsung memperhatikannya, kecuali Kurt yang tetap tenang di sebelahnya, meletakkan tangannya di atas pundak Myria untuk menenangkannya yang hampir menangis.

Dengan cepat ia menarik kerah gaunnya, dan merobeknya. Ia melihat ke depan dan memperlihatkan dadanya yang rata pada semua pangeran yang ada di situ. “Aku laki-laki! Sekarang cepat pergi dari sini!” teriaknya.

Tanpa perintah kedua, semua pangeran yang tadinya hendak mengikuti pesta perjodohan itu segera berjalan keluar dari ruangan pesta itu, dan meninggalkan kerajaan itu, beserta pengawal pribadinya.

“Myria, apa maksudmu melakukan ini?” tanya sang raja dengan geram, memperhatikan putranya itu. “Siapa yang menyuruhmu melakukannya!?” teriaknya dengan geram sambil bersiap-siap memukulnya.

“Aku sendiri yang ingin melakukannya,” jawab Myria dengan tenang. “Lagipula sudah saatnya aku memberitahukannya, pada mereka, dan pada Sherry,” lanjutnya menyelesaikan dengan pelan.

Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke arahnya. Dengan tenang ia bangkit berdiri tanpa mempedulikan rasa sakit yang menyengat di pipinya, dan berjalan pergi dari tempat itu, meninggalkan sang raja yang marah, sang ratu yang sedih, dan sang prajurit yang diam tanpa ekspresi.

Tetapi ternyata masih ada satu orang lagi yang terlewatkan, yaitu sang putri yang tampak begitu terkejut, yang tersembunyi di balik bayang-bayang pintu besar ruangan itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Kyle,” panggil seorang laki-laki tampan berambut pirang sambil menggenggam tangan Myria. “Apa ada yang memberatkan pikiranmu?” tanyanya.

Myria terdiam. Laki-laki itu adalah salah satu temannya yang ia dapatkan ketika ia sedang bermain-main di desa dengan menggunakan nama Kyle.

“Kenapa? Tidak biasanya kamu diam seperti ini,” tanyanya lagi sambil terus memperhatikan Myria yang sepertinya sedang berpikir keras.

“Tidak apa-apa,” jawab Myria cuek sambil menggelengkan kepalanya, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Hari sudah gelap, sebaiknya aku kembali sekarang,” ujarnya dan ia pun bersiap untuk pergi dari taman kecil itu.

“Kyle,” panggil laki-laki itu sambil menggenggam pergelangan tangannya.

“Ya? Ada apa Ryan?” tanyanya sambil memperhatikan temannya itu.

“Menikahlah denganku,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Ayah,” panggil Sherry sambil berjalan masuk ke dalam ruangan orang tuanya. “Kak Myria pergi lagi,” ujarnya.

“Tidak apa-apa,” balas ayahnya tenang. “Biarkanlah ia bersenang-senang, selagi ia bisa,” tambahnya. “Kemarilah Sherry,” panggilnya, dan Sherry berjalan menghampiri ayahnya yang duduk di atas tempat tidurnya.

“Apakah kau menyayangi kakakmu?” tanya sang raja pada putrinya itu sambil membelai rambutnya.

“Ya, aku sayang Kak Myria,” jawab Sherry.

“Aku yakin dia juga pasti menyayangimu,” ujar sang raja tenang.

“Ayah,” panggil Sherry, dan sang raja menengok ke bawah untuk memperhatikan putrinya itu. “Apakah benar… Kak Myria seorang laki-laki?” tanyanya.

Sang raja nampak terkejut, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Ia menarik napas dalam, dan berkata, “Ya, benar, dia adalah seorang laki-laki,” ujarnya, “Dan namanya bukan Myria,”

“Bukan Myria?” tanya Sherry kaget.

“Ya, namanya yang sebenarnya adalah Kyle,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Me- menikah denganmu?” tanya Myria ragu-ragu. Ia tidak bisa langsung berkata tidak begitu saja karena Ryan adalah teman baiknya, tidak seperti para pangeran yang diusirnya tadi siang.

“Ya, menikahlah denganku,” ulang Ryan dengan mantap. “Kita sudah tidak muda lagi, Kyle. Aku sudah dua puluh lima, dan kau sudah sembilan belas. Bukankah itu sudah cukup?” tanyanya sambil memperhatikan Myria yang tampak gugup.

“Aku... aku tidak bisa, Ryan. Maaf, tapi sungguh, aku tidak bisa,” jawab Myria panik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kenapa tidak?” tanya Ryan sambil mengernyitkan dahinya. Tentu saja ia tidak akan memaksa Myria menikahinya, tetapi ia ingin mengetahui penyebab mengapa Myria menolaknya.

“Lepaskan dia,” ujar sebuah suara, dan begitu keduanya menengok ke arah sumber suara itu, mereka melihat Kurt yang sedang menghunus pedangnya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Kyle?” tanya Sherry.

“Ya, dan mungkin kamu tidak akan mempercayai hal ini, tetapi sekarang sudah saatnya aku memberitahumu,” ujar sang raja itu dengan berat hati, “Dia bukan kakakmu,”

“A- apa maksudnya?” tanya Sherry tergagap sambil memperhatikan ayahnya. “Itu tidak mungkin ‘kan?”

“Kyle bukan kakakmu, ia adalah adik dari prajurit yang gugur tiga tahun lalu, dan ia adalah adik sepupu dari Kurt, pengganti kakaknya itu, dan kami mengangkatnya sebagai anak kami sejak ia berusia sebelas tahun,” jelas ayahnya. “Dia mungkin tidak akan sempat memberitahumu hal ini, jadi aku yang menggantikannya dalam melakukan tugas ini,”

“Tidak sempat?” tanya Sherry heran. “Kenapa tidak sempat?”

“Sebab sebentar lagi ia akan meninggal,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Kurt? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Myria heran sambil memperhatikan prajurit itu berdiri sambil memegang pedangnya yang terhunus.

“Sudah tugasku untuk menjagamu sejak kematian kakakmu,” jawab Kurt tenang. “Dan aku tidak akan membiarkannya membawamu pergi,” tambahnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah Ryan.

Ryan melepaskan genggamannya, dan mengambil sebuah pedang yang tergantung di ikat pinggangnya. Ia berdiri menghadap Kurt, seakan-akan menantangnya dalam sebuah duel untuk memperebutkan Myria.

“Kurt, hentikan sekarang juga!” teriak Myria memerintah, tetapi Kurt tidak mendengarkannya.

Keduanya bertarung, seakan-akan mereka berada di medan perang. Bunyi yang timbul dari besi yang bertemu dengan besi terdengar menggema di taman kecil itu. Gerakan mereka amat cepat, hampir tidak terlihat, tetapi masih belum ada satu pun yang berhasil menyerang dan melukai orang yang satunya.

Mereka berlari menerjang ke arah satu sama lain, pedang mereka tertunjuk ke arah lawannya, dan…

“Hentikan!” teriak Myria, dan tiba-tiba saja ia berdiri tepat di antara keduanya.
Tidak terelakkan lagi, kedua pedang itu menusuk tubuhnya, dan berhentilah pertarungan itu.

“Kyle!” teriak Ryan sambil menahan tubuh Myria yang terjatuh. Ia menarik keluar kedua pedang itu dari tubuhnya, dan membaringkannya di atas rerumputan yang tumbuh di tengah-tengah taman itu sementara Kurt memperhatikan mereka dalam diam. Ia memang tidak terlalu menyayangi adik sepupunya itu. Selama ini ia menjaganya hanya karena terpaksa.

“Ryan, Kurt,” panggil Myria. “Maafkan aku,” ujarnya, darah mengalir keluar dari mulutnya.

“Tidak, maafkan aku,” ujar Ryan sambil memeluk Myria dan menangis.

“Ini bukan salahmu,” ujarnya tenang. “Aku memang akan mati malam ini,” tambahnya dengan suara serak.

“Kyle?” tanya Ryan dengan ragu-ragu.

“Aku mengidap penyakit yang tak dapat disembuhkan sejak tiga tahun yang lalu,” jawab Myria. “Tidak banyak yang mengetahui hal ini… kecuali kakakku, dan orang tua angkatku,”

“Sudah, kau tidak perlu berkata apa-apa lagi, aku mengerti,” ujar Ryan yang sekarang sudah menangis. Air mata mengalir deras di pipinya sementara ia berusaha menutup luka Myria. Ia merobek lengan bajunya dan mengikat tubuh Myria dengan itu untuk menghentikan aliran darahnya.

“Kurt,” panggil Myria dengan segenap kekuatan yang masih ada padanya.

Kurt memperhatikannya dengan wajah tanpa ekspresi. Dingin. Seperti biasanya.

“Terima kasih, karena telah menjagaku selama tiga tahun ini. Aku sungguh bersyukur bisa mempunyai orang sepertimu sebagai kakak,” ujar Myria sambil tersenyum. “Sekarang aku telah pergi. Kamu tidak lagi terikat perjanjian dengan kakakku, sekarang kau boleh bebas melakukan apa pun yang kamu mau,”

Kurt tetap diam saja, memperhatikan Myria yang terus berbicara.

“Tetapi sekali lagi, kuucapkan terima kasih, untuk segalanya,” ujarnya, “Aku menyayangimu,” dan ia pun menghembuskan napasnya yang terakhir.

“Kyle!” teriak Ryan yang masih menangis sambil mengguncang-guncang tubuh Myria, tetapi Myria tidak bereaksi. Tubuhnya mulai mendingin dan menjadi kaku.

“KYLE!” teriakannya berbaur dengan keheningan malam, dan tanpa sadar, Kurt pun meneteskan air matanya.

Life of A Dandellion

Saat itu, hari sudah petang. Matahari tidak lagi nampak, hanya seberkas cahaya oranye tua saja yang terlihat di ujung, mewarnai langit yang tadinya biru menjadi kemerah-merahan. Suhu saat itu amat hangat, dan terlihat banyak penduduk kota kecil itu yang sedang duduk-duduk di serambi depan rumah mereka sambil menikmati teh dan pemandangan indah itu.

Di sebuah rumah besar di pinggiran kota itu, hiduplah seorang laki-laki muda yang terkenal sombong, dan tidak mempedulikan perasaan orang lain, hingga suatu hari ia berubah total. Kini ia menjadi pendiam. Ia tidak lagi pergi keluar dari rumahnya seperti biasanya. Banyak orang yang bertanya-tanya mengapa, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui jawabannya.

Senja itu, pemuda itu sedang berdiri di pinggir jendelanya, memperhatikan sinar matahari yang perlahan-lahan mulai menghilang, digantikan oleh cahaya bulan yang sebentar lagi akan muncul, menggantikan tugasnya di malam hari.

Ia memperhatikan jalan berumput yang ada di depan rumahnya itu. Tidak banyak orang yang lewat di jalan itu karena jalan itu berada di pinggiran kota. Dan kalaupun ada orang yang lewat di depannya, mereka hanyalah orang-orang yang ingin mengejeknya.

“Hei, kamu lihat laki-laki itu? Kudengar ia sekarang dikutuk karena telah melukai seorang gadis muda,” bisik seorang gadis yang berjalan melewati jalan itu bersama dengan temannya.

“Benarkah? Pantas dia tidak pernah keluar rumah lagi. Hah, sudah seharusnya dia dikutuk. Malah menurutku seharusnya dari dulu saja,” balas temannya itu, dan mereka berdua berjalan pergi sambil tertawa kecil.

Mungkin memang ia keterlaluan. Tapi ia sama sekali tidak mengira akan terjadi seperti ini.

Ia terbangun dari lamunannya ketika seorang gadis muda berambut hitam panjang berjalan melintasi jalan di depan rumahnya itu. Ia hanya berjalan terus, sambil bersenandung pelan. Ia bahkan tidak menoleh untuk memperhatikannya.

Singkat kata, ia merasa tertarik pada gadis itu. Selama ini ia tidak menyadarinya, tetapi setelah diingat-ingat, gadis itu memang tidak pernah mengejeknya setiap kali ia berjalan melintas di jalan itu, tidak seperti orang-orang lainnya.

“Hei kamu,” panggil pemuda itu.

Gadis itu tersentak kaget, sebelum ia melihat sekeliling.

“Hei,” panggil pemuda itu lagi.

Gadis itu terdiam sebentar, sebelum ia menengok ke arah rumah pemuda itu, dan berjalan menghampirinya. “Ada apa?” tanyanya lembut sambil tersenyum simpul.

“Kamu… Kenapa kamu tidak ikut mengejekku seperti orang lain?” tanya pemuda itu heran.

“Kenapa harus?” gadis itu balas bertanya.

Pemuda itu terdiam sejenak. Tampak ia sedang memikirkan sesuatu untuk diucapkan.

“Siapa namamu?” tanya gadis itu tiba-tiba, dan pemuda itu terkejut. Saat ia melihat matanya, ia baru mengetahui bahwa gadis itu buta. Pantas saja ia melihat sekeliling untuk mencari sumber suaranya tadi, dan pantas saja ia tidak mengejeknya. Ia tidak bisa melihatnya.

“Aku Shinya Yamato,” jawab pemuda itu. “Apakah kau pernah mendengar nama itu?” tanyanya. Ia ingin tahu apakah gadis itu akan mengejeknya setelah mengetahui siapa dia.

“Ah… laki-laki yang tinggal di rumah besar di pinggiran kota itu ‘kan?” tanya gadis itu sambil tersenyum lebar, seperti ia baru saja berhasil menebak jawaban sebuah kuis yang berhadiah uang tunai satu miliar.

Sekali lagi Yamato terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia takjub akan kebaikan hati gadis itu. Selama ini ia terkenal sebagai laki-laki tidak tahu diri yang selalu melukai orang lain, bukan sebagai laki-laki yang tinggal di rumah besar di pinggiran kota.

“Ya, itu aku,” jawab Yamato sambil tersenyum kecil. Akhirnya ia menemukan orang yang bisa menerimanya. Mungkin ia tidak akan menyesal nantinya. “Siapa namamu?” tanyanya.

“Aku Akihito Rin,” jawab gadis itu. “Adik dari Akihito Shuujin,”

Yamato tampak terkejut, dan ia langsung membanting daun jendelanya. Ia kemudian menarik tirainya sehingga semua jendelanya tertutup, dan ia bersandar pada dinding kamarnya. Wajahnya tampak sedih, dan bersalah.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Yamato? Apa ada masalah yang membebani pikiranmu?” tanya seorang laki-laki dewasa yang wajahnya kebapakan sambil memperhatikan laki-laki yang bersandar di dinding kamarnya itu. “Tidak biasanya kau merenung seperti itu,”

“Tidak… aku… tadi aku menemui dia,” jawab Yamato sambil menarik kedua kakinya ke arah dadanya, dan menaruh tangannya di atas lututnya. Ia kemudian membenamkan wajahnya ke dalam tangannya.

Dia?” tanya laki-laki itu heran sambil berjalan mendekati Yamato.

“Ya, dia,” jawab Yamato sambil menganggukkan kepalanya, suaranya tertahan karena tertutup tangannya. “Gadis yang kedua matanya kubutakan,”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Esok harinya, Yamato kembali bersandar di ambang jendelanya, memperhatikan matahari yang perlahan mulai terbenam dan menghilang di balik bukit di depan rumahnya. Ia juga sesekali memperhatikan jalan di depan rumahnya, kalau-kalau gadis itu berjalan melewatinya lagi.

Sesuai perkiraan, ketika cahaya oranye itu mulai meninggalkan langit dan digantikan oleh selimut biru tua yang menutupi langit, gadis itu berjalan melewati jalan di depan rumahnya. Mungkin ia harus melewati jalan itu bila ia ingin pulang ke rumah.

“Rin,” panggil Yamato setengah berteriak ke arah gadis itu.

Rin tersentak kaget sehingga ia hampir saja terjatuh. Ia berbalik, dan berjalan menuju rumah Yamato. Ia bisa mengingat jalan yang pernah dilaluinya, sehingga ia tidak terlalu mengalami kesulitan dalam bepergian meskipun ia buta.

“Selamat malam,” sapa Rin sambil tersenyum ramah ke arah Yamato.

Sekali lagi Yamato amat takjub akan kebaikan hatinya. Bahkan ketika ia telah mengalami berbagai macam penderitaan, ia tetap ramah dan baik hati kepada semua orang. Ia bahkan baik hati pada orang yang telah melukainya.

“Rin,” panggil Yamato, dan Rin diam, bukti bahwa ia mendengarkan. “Kenapa kamu tidak membenciku?” tanyanya.

“Membencimu? Untuk apa?” sekali lagi Rin menanyakan hal yang sama.

“Aku… aku telah membutakan kedua matamu. Apakah kamu tidak merasa marah padaku?” tanya Yamato setengah berharap. Ia berharap Rin tidak membencinya, karena ia telah memutuskan untuk mempercayainya.

Rin hanya tersenyum kecil. “Apakah hal itu yang terus kau pikirkan selama ini?” tanya Rin ramah. “Aku tidak membencimu, dan tidak akan pernah membencimu,”

Yamato amat lega mendengarnya. “Tapi… kenapa?”

“Kau ingin aku membencimu?” tanya Rin sambil tertawa kecil. “Kedua mataku memang sudah terluka pada waktu itu. Meskipun tidak kaulukai juga, aku tetap akan menjadi buta,” jelasnya.

“Oh,” gumam Yamato singkat. Kini ia benar-benar merasa lega. Memang ia masih merasa bersalah karena kebutaan Rin setengahnya adalah akibat perbuatannya, tetapi ia lega karena Rin tidak menyalahkannya, tidak seperti penduduk kota lainnya, yang bahkan tidak mengetahui duduk persoalannya.

“Ah, sudah malam. Sebaiknya aku cepat pulang, kalau tidak kakakku akan panik,” ujar Rin tenang seakan-akan tidak akan ada apa-apa yang terjadi meskipun ia tidak pulang. “Sampai jumpa,”

“Rin,” panggil Yamato sebelum Rin menghilang dari pandangannya. “Temui aku di bukit itu besok siang,” pesannya, dan Rin hanya mengangguk, sebelum ia akhirnya benar-benar hilang dari pandangannya, ditelan kegelapan malam.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak pertemuan mereka. Kini mereka sudah berteman baik, dan mereka sering bertemu di bukit itu untuk mengobrol, bercerita, dan bermain-main. Tidak ada seorang pun yang dengan terang-terangan menentang hubungan mereka berdua, meskipun beberapa orang sempat terheran-heran. Mengapa orang sebaik Rin mau berteman dengan Yamato?

Sore itu, mereka kembali bertemu di bukit itu untuk mengobrol, bercerita tentang kehidupan mereka sehari-hari. Rin banyak menceritakan tentang kakaknya, sedangkan Yamato menceritakan ayah angkatnya yang merawatnya sejak ia masih kecil.

Tiba-tiba, Yamato mengambil sebuah pot kecil yang tadi sengaja ia bawa bersamanya. Di dalamnya, tertanam sekuntum bunga dandelion yang sudah hampir mekar dan terlihat indah sekali, seperti bola kapas.

“Rin, aku ingin kau menjaga bunga ini,” ujar Yamato sambil memberikan bunga itu kepada Rin yang tampak keheranan. “Mungkin kita tidak akan bisa sering bertemu lagi. Bila kau merasa kehilanganku, bunga ini akan menjadi penggantiku,”

Rin memperhatikan bunga itu sebentar. Ia mengangkat tangannya dan meraba bunga itu, untuk mengetahui bentuknya. Ia kemudian tersenyum. “Aku akan menjaganya,”

“Terima kasih,” gumam Yamato. Ia memperhatikan Rin untuk beberapa saat, sebelum ia menunduk dan mengecup bibir gadis itu.

“Selamat tinggal,” bisiknya, dan sebelum gadis itu sempat berkata apa-apa, ia berjalan pergi dari bukit itu, meninggalkan gadis itu sendirian.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Hei Suzuki, mana Yamato?” tanya seorang laki-laki dewasa yang adalah teman dari ayah angkat Yamato. Ia melihat sekeliling, tapi sama sekali tidak melihat anak angkat temannya itu.

“Yamato ada di dalam kamarnya,” jawab Suzuki. “Tumben kau mau menemuinya, Kai, ada apa?” tanya Suzuki heran.

“Aku hanya ingin mengecek keadaannya saja,” jawab Kai enteng. Ia mengetahui tentang kutukan yang diberikan kepada Yamato saat ia membutakan kedua mata seorang gadis muda. Kini hidupnya tersambung pada setangkai bunga. Bunga dandelion.

Bila bunga itu layu, atau kehilangan semua anaknya, maka Yamato akan kehilangan hidupnya juga. Karena itulah pot yang berisikan bunga itu selalu disimpan di pojok kamarnya, di tempat yang tidak terkena angin, untuk mengurangi kemungkinan kematiannya.

“Akan kuantar kau ke kamarnya,” tawar Suzuki, dan mereka berdua berjalan menuju kamarnya. “Yamato, apakah kau ada di dalam?” tanya Suzuki sambil mengetuk pintu kamar Yamato yang terbuat dari kayu jati.

“Tidak ada jawaban, coba buka saja,” usul Kai. “Siapa tahu ia sedang tidak berada di kamarnya,” tambahnya sambil mengangkat bahunya.

Suzuki memperhatikan temannya sebentar, sebelum ia mengangguk. Ia membuka pintunya, dan berjalan ke dalam kamarnya. “Dia tidak ada di dalam,” ujarnya sambil melihat ke arah tempat tidurnya. Biasanya Yamato sedang berada di dekat tempat tidurnya.

“Bunganya…” gumam Kai sambil memperhatikan pojok ruangan itu, tempat di mana seharusnya pot bunga itu berada.

“Tidak ada?” tanya Suzuki sambil mengernyitkan dahinya. “Tapi… tidak. Tidak mungkin ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri,” ujarnya sambil menggelengkan kepalanya.

“Kenapa tidak mungkin?” tanya Kai menuntut. “Kalaupun ia tidak ingin mengakhiri hidupnya, bila ia memberikannya kepada orang lain, itu berarti kematiannya sudah pasti,”

“Aku tahu, tapi kita ‘kan belum tahu apakah ia memberikannya pada orang lain atau memindahkan posisinya. Lagipula, kalaupun diberikan kepada orang, kepada siapa? Kau tahu ia membenci hampir semua penduduk desa ini,” tutur Suzuki.

“Pokoknya sekarang kita cari Yamato dulu,” usul Kai.

Mereka berdua berjalan keluar dari kamar Yamato, dan baru saja hendak berbelok ketika mereka melihat sosok seseorang di lantai kamar mandi yang pintunya terbuka.

“Yamato?” panggil Suzuki ragu-ragu sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar mandi itu. Ia terkejut bukan main ketika ia melihat tubuh Yamato tergeletak di atas lantai di dalam kamar mandi itu, tidak bergerak sama sekali.

“Yamato!”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Rin berjalan keluar dari rumahnya sambil membawa sebuah gelas kecil berisikan air. Ia berjalan menuju teras depan rumahnya, dan menghampiri pot berisi bunga dandelion yang diberikan Yamato padanya.

“Lho? Sepertinya ada yang menghilang,” gumamnya saat ia meraba bunga itu lagi. Kini ujung runcing dari bunga itu sudah tidak terasa lagi di beberapa bagian, tergantikan oleh bantalan empuk yang ada di bagian dalam bunganya.

Ia menuangkan air di dalam gelas itu ke atas tanah di dalam pot itu, dan meletakkan gelasnya di atas meja di depan rumahnya. Ia menghela napas panjang, dan mendesah.

“Kira-kira, Yamato ke mana ya? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?” tanya Rin pada dirinya sendiri.

“Rin,” panggil Shuujin, kakaknya, dan Rin hampir saja melompat kaget. “Ada orang mencarimu,” lanjutnya. “Di depan,” tambahnya.

“Baik, terima kasih Kak,” balas Rin sambil mengangguk kecil. Ia berjalan turun dari teras depan rumahnya dan menghampiri gerbang depan rumah mereka, yang terletak cukup jauh dari teras rumahnya karena terpisah oleh sebuah taman kecil.

“Ya?” tanya Rin. Ia berdiri tepat di depan kedua orang yang mencarinya itu, karena ia bisa merasakan keberadaan mereka.

“Apakah kau… Akihito Rin?” tanya Suzuki sambil memandangi gadis itu dengan sedih.

“Ya… Anda siapa ya?” Rin balas bertanya.

“Aku adalah Kishikawa Suzuki, ayah angkat dari Shinya Yamato, dan ini temanku, Taniyama Kai,” jawab Suzuki sambil memperkenalkan dirinya. “Aku ada di sini untuk memberitahumu tentang Yamato,” lanjutnya.

“Yamato? Apa yang terjadi?” tanya Rin heran.

“Yamato sedang dalam keadaan koma,” jawab Kai, menyela Suzuki yang hendak menjawab pertanyaan Rin. “Hidupnya tersambung pada setangkai dandelion, dan bila seluruh kelopak dandelion –atau yang lebih sering kita sebut anaknya- terlepas darinya, maka nyawanya akan ikut melayang,” jelasnya secara singkat.

“Ter- tersambung pada bunga dandelion?” tanya Rin tergagap. Ia mengetahui rupa bunga dandelion, tapi sebelumnya ia tidak tahu bahwa kelopaknya bisa diterbangkan oleh angin.

“Apakah kau mengetahui sesuatu tentang keberadaan bunga itu sekarang?” tanya Kai.

Tiba-tiba, angin kencang berhembus di daerah yang biasanya tidak berangin itu. Rin tersentak, dan segera berlari menghampiri pot bunga yang terletak di dekat meja di depan rumahnya itu, diikuti oleh Suzuki dan Kai.

“Tidak… kumohon, walaupun hanya satu, tetaplah tinggal,” pinta Rin sambil meraba bunga itu, berusaha mencari kelopaknya yang mungkin masih tertinggal setelah tertiup angin kencang itu. Suaranya sengau karena isak tangisnya yang tertahan.

“Kumohon…” pintanya sambil terus meraba bunga itu, tetapi ia tidak menemukan satu pun yang tersisa.

Akhirnya, air matanya yang berusaha ditahannya pun tergerai. Ia tidak sanggup lagi menahan tangisnya. Air mata mengalir dengan deras menuruni wajahnya, membasahi pipinya.

“TIDAK!” teriaknya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, merasakan kelopak-kelopak bunga dandelion itu terbang menjauh darinya, diikuti nyawa Yamato, pria yang dicintainya sejak tiga tahun silam, yang juga terbang menjauh darinya.

Of Love, War and Fate

Seorang putri terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Ia bangkit dari tempat ia tertidur, dan melihat sekelilingnya. Ia sedang berada di dalam sebuah sel tua dengan pintu yang terbuat dari besi tua yang sudah karatan. Di pintu itu terdapat lima lubang berjejer sehingga ia masih bisa melihat keluar.

Ia duduk di sebuah balok kayu besar tempat ia tertidur, dan duduk termenung. Jadi inilah yang dikatakan para tetua kerajaan.

Setiap generasi, satu putri dari keluarga kerajaan, putri yang dipilih oleh gelang giok pusaka kerajaan, harus dikurbankan di altar, atau kekacauan akan terjadi di dalam kerajaan itu. Itu adalah akibat dari perjanjian dengan setan yang telah dibuat nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu.

Kali ini mereka berusaha mengubah takdir, tapi apa daya. Para penduduk desa beserta sang putri malah diculik gerombolan musuh kerajaan dan dibawa ke sebuah pegunungan kecil dekat altar di mana sang putri seharusnya dikurbankan.

Ia mendengar suara riuh rendah di luar, dan diam-diam bertanya pada dirinya sendiri, apa gerangan yang sedang terjadi di luar, yang mengakibatkan suara ribut itu. Ia sadar bahwa ia memang harus dikurbankan, karena gelang giok itu telah memilihnya, tapi ia masih belum mau berpisah dengan kedua temannya yang adalah teman sepermainannya.

Ia mendengar suara besi beradu dengan besi, dan ketika ia menengadahkan kepalanya, ia melihat para penduduk desa yang berhasil melarikan diri dari sel tahanannya berusaha merusak pintu selnya dengan pipa besi.

“Putri! Apakah Anda baik-baik saja?” tanya seorang pemuda dari desa di depan istana. Ia terus berusaha merusak pintu itu bersama dengan para pemuda desa lainnya.

“Aku baik-baik saja,” jawab putri itu dengan tenang. “Bagaimana keadaan kalian?” tanyanya. Ia merasa bertanggung jawab akan penderitaan para penduduk desa yang ikut ditangkap bersamanya hanya karena keegoisannya.

“Kami baik-baik saja,” jawab pemuda itu meyakinkan.

Tidak lama kemudian mereka semua berhasil keluar dari ruang tahanan itu. Bersama-sama, mereka berjalan keluar, menuju daerah perbukitan yang dulunya asri, tapi sekarang telah berubah menjadi medan perang.

Setibanya di luar, sang putri melihat seorang kakek-kakek yang sudah kesusahan, tetapi tidak ada yang bisa menolongnya karena para pemuda yang masih muda dan cukup sehat sudah direpotkan oleh orang lain yang juga terluka.

“Putri Myrrh,” panggil kakek-kakek yang sudah tergeletak tidak berdaya di atas rerumputan itu ketika ia melihat sang putri berjalan keluar dari tempat tahanan itu. “Pergilah, ke altar para dewa yang terletak di balik bukit ini,” perintahnya dengan suara yang parau dan tersendat-sendat, seakan-akan ia sudah tidak bisa berbicara lagi.

“Tenanglah, Kek,” ujar Myrrh sambil berlutut di sebelah kakek-kakek itu. Ia merasa kasihan padanya. “Aku akan membawa Kakek ke tempat yang aman, dan akan menunaikan tugasku sebagai putri pilihan gelang pusaka ini,”

Ia membopong kakek itu, dan berjalan menuju pinggir bukit, di mana para pemuda berkumpul. Mereka membawa gerobak untuk membawa orang-orang yang sakit dan terluka karena perang itu ke kaki bukit untuk dirawat.

Myrrh melihat sekelilingnya, dan berjalan menghampiri temannya yang sedang berdiri sambil berbincang-bincang dengan seorang pemuda lainnya.

“Wayne,” panggil Myrrh, menyapa temannya yang sedang mengobrol dengan salah satu pemuda yang membawa gerobak untuk membawa orang sakit itu. Wajah pemuda itu sangat mirip dengan temannya yang satu lagi.

“Ah, Myrrh, akhirnya kau keluar juga,” ujar Wayne seakan-akan ia telah memprediksi keluarnya Myrrh dari sel tahanan itu.

Tanpa banyak omong, Myrrh menyuruh pemuda itu membawa kakek-kakek itu turun bukit untuk segera dirawat, karena menurutnya lukanya cukup parah, dan kakek itu telah kehilangan cukup banyak darah.

Myrrh sempat memperhatikan wajah pemuda itu untuk beberapa saat, dan ia terdiam. Ada suatu perasaan tidak mengenakkan yang terus-menerus mengganggu pikirannya, yang berusaha memberitahunya bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

Pemudia itu akhirnya berpamitan kepada mereka berdua, dan membawa kakek-kakek itu ke kaki bukit, di mana para tenaga medis telah menunggu dan siap untuk merawat para korban perang yang terluka, baik yang ringan maupun yang parah.

Myrrh hanya diam saja melihat pemuda itu pergi. Ia juga hanya diam saja melihat keadaan di bukit itu. Keadaan kacau balau di bukit itu.

“Wayne,” panggilnya.

“Ya?” tanya Wayne sambil berbalik.

“Maukah kau menemaniku ke Altar Para Dewa?” tanya Myrrh dengan suara tertahan. Sebelumnya, ia sama sekali tidak sudi menginjakkan kakinya ke daerah altar itu.

“Baik,” jawab Wayne menyanggupi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Sesampainya mereka di Altar Para Dewa, tempat itu sudah hancur berantakan, meskipun hanya bagian pinggirnya. Para gerombolan musuh yang mengharapkan kematian Myrrh menunggu di situ, memperhatikan mereka.

Myrrh menghela napas panjang, dan bertanya pada Wayne. “Di mana Diehl?”

Wayne langsung terdiam, dan Myrrh hanya bisa mendesah pelan. Sepertinya apa yang dirasakannya itu benar.

“Diehl… ia telah mati,” jawab Wayne sambil mengalihkan pandangannya ke lantai altar itu. Ia mengalihkan pandangannya ke mana-mana. Ke mana saja, asalkan bukan ke arah Myrrh. Ia tidak sanggup melihat Myrrh, karena ia tidak berhasil menjaga apa yang penting baginya, dan apa yang penting bagi Myrrh.

Mereka adalah teman sepermainan sejak kecil, dan mereka semua sudah seperti kakak beradik. Diehl sudah seperti kakak bagi Wayne dan Myrrh, karena mereka semua adalah anak tunggal, tidak mempunyai saudara.

“Sebuah batu besar terlempar ke arahnya, dan mengenainya kepalanya. Ia mati seketika itu juga,” jelas Wayne. Air mata mulai mengalir di pipinya.

Myrrh menengok ke arah Wayne, dan tersenyum sedih. “Jangan menangis,” pesannya. “Kamu harus tetap tegar, untuk kami,”

“Myrrh? Apakah… apakah kamu berniat untuk mengorbankan dirimu untuk memenuhi perjanjian itu?” tanya Wayne dengan nada tidak percaya.

Myrrh hanya menganggukkan kepalanya.

“Jangan!” teriak Wayne sambil menarik tangan Myrrh. “Diehl telah mati demi melindungimu! Jangan sia-siakan pengorbanannya, dan juga pengorbanan orang lain!”

Myrrh memperhatikan Wayne untuk beberapa saat, sebelum ia melepaskan tangannya dari genggaman Wayne.

“Wayne,” panggil Myrrh, “Apa isi ramalan di kitab kerajaan tentang kejadian ini?” tanyanya dengan suara rendah.

“Pasukan… akan datang pasukan berperisai batu rubi dan safir, yang akan membantu sang putri mencapai keinginannya,” ujar Wayne perlahan-lahan, mencoba mengingat apa yang tertulis di kitab kerajaan.

Saat itu juga, berdatanganlah dua kelompok besar pasukan. Yang satunya berperisaikan batu rubi dan mereka menyerang dengan api. Yang satunya berperisaikan batu safir, dan mereka menyerang dengan air.

Gerombolan musuh yang menginginkan kematian Myrrh itu mulai balas menyerang kedua pasukan itu.

“Lalu? Apa lagi katanya?” tanya Myrrh.

“Takdir… tak dapat diubah,” ujar Wayne pada akhirnya dengan putus asa.

“Mengerti, Wayne?” tanya Myrrh akhirnya. “Aku telah egois, aku telah menginginkan hal yang seharusnya tidak boleh kuingini, dan kini orang lain telah membayar ganjarannya untukku. Diehl, para penduduk desa, dan pasukan itu,”

Wayne terdiam mendengarkan penjelasan Myrrh.

“Aku tidak mau ada lebih banyak korban lagi, Wayne. Aku juga tidak ingin kamu menderita. Kamu harus tetap hidup, dan kamu harus hidup bahagia, demi aku, dan demi Diehl,” ujar Myrrh menjelaskan. “Aku ingin terus hidup agar aku bisa bersama orang-orang yang kusayangi, tapi kini mereka telah diambil daripadaku,”

“Myrrh…” bisik Wayne sedih.

“Karena itu,” ujarnya sambil berbalik menghadap altar yang terletak jauh di atas, melewati ratusan anak tangga yang membawanya ke atas, ia berkata dengan lantang bagaikana menentang para setan yang telah menghuni tempat itu karena perjanjian yang telah diikat antara para setan itu dengan keluarga kerajaan, “Biarlah jalan masuk bagi para pasukan itu tertutup, dan biarlah tidak ada lagi korban, karena aku akan menyerahkan diriku,”

Seketika itu juga, pintu-pintu batu yang adalah pintu masuk daerah altar itu tertutup, dan para pasukan itu tidak bisa lagi masuk ke dalam. Para musuh kerajaan pun berhenti menyerang, dan hanya memperhatikan Myrrh.

Myrrh berbalik ke arah Wayne dan tersenyum ke arahnya. “Kau tahu… para putri yang dipilih gelang ini dan dikurbankan di altar ini, arwahnya tidak akan bisa masuk ke alam sana,” ujarnya, dan Wayne mengangguk. “Karena itu, bila suatu hari kau meninggal dan tiba di alam sana, dan bertemu dengan Diehl, tolong sampaikan pesanku padanya,”

“Aku suka padanya,”

Dan setelah mengucapkannya, Myrrh mulai berjalan menaiki anak tangga itu, menuju altar di mana hidupnya akan berakhir, demi mengakhiri perang, dan penderitaan yang diakibatkan keegoisannya ini.

Snow Angels

Pada suatu sore hari, sebuah badai salju terjadi. Salju turun dengan lebatnya dan menutupi semua jalan yang ada dengan salju yang bertumpuk-tumpuk. Perapian di dalam rumah-rumah dinyalakan, dan makanan hangat serta minuman panas dibuat untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin di luar rumah mereka, yang disebabkan oleh badai salju itu.

Di sebuah panti asuhan kecil di pinggir kota, tinggallah dua orang laki-laki dewasa yang memiliki panti asuhan itu, dan dua orang anak laki-laki kecil yang kehilangan kedua orang tua mereka dan tidak mempunyai tempat tinggal.

Karena mereka ditinggalkan orang tua mereka sejak mereka masih muda, mereka tidak mendapatkan apa pun sebagai warisan dari orang tua mereka masing-masing. Anak laki-laki yang lebih tua ditemukan pemilik panti asuhan itu tiga tahun yang lalu, dan anak laki-laki yang lebih muda ditemukan pemilik panti asuhan itu dua tahun yang lalu.

Keduanya berteman dengan cukup baik karena hanya mereka bersama kedua pemilik panti asuhan itu saja yang tinggal di panti asuhan itu, dan karena mereka berdua senasib.

Malam itu, Hisane Kourin dan Kooku Kosuke, kedua pemilik panti asuhan itu, memasak makanan yang panas agar mereka tidak kedinginan. Mereka juga menyalakan perapian di dalam rumah itu. Keempatnya sudah seperti sebuah keluarga biasa. Hanya saja, kedua orang tuanya laki-laki.

Kishimoto Yamato, seorang anak laki-laki kecil berambut hitam pendek dan bermata hitam cemerlang melihat ke luar jendela dari ruang tamu rumah itu. Sesekali ia mengelap embun yang terbentuk di jendela itu dengan tangannya yang kecil, dan melihat ke luar, memperhatikan setiap kepingan salju yang jatuh ke tanah dan ikut bertumpuk dengan kepingan-kepingan salju yang lainnya yang telah jatuh terlebih dahulu.

Tsutawa Kirin, seorang anak laki-laki yang setahun lebih tua dari Yamato, memperhatikan Yamato dari balik kacamatanya yang cukup tebal. Keduanya berwajah cukup manis, dan mereka sering salah dikira perempuan, meskipun mereka tidak terlalu peduli.

“Yamato, Kirin,” panggil Kourin sambil berjalan menuju ruang tamu itu dan melihat keduanya duduk bersebelahan di sofa yang ada di pinggir ruangan, dekat dengan jendela yang menghadap keluar. “Saatnya makan malam,” ujarnya sambil tersenyum ke arah kedua anak kecil yang sudah seperti anaknya sendiri itu.

Memang tahun ini Yamato sudah berumur dua belas dan Kirin sudah berumur tiga belas, tetapi Kourin dan Kosuke masih menganggap mereka anak-anak.

“Baik,” jawab Yamato dan ia langsung berbalik dan berjalan menuju ruang makan yang ada di belakang, diikuti oleh Kirin yang hanya tersenyum kecil melihat Yamato yang benar-benar masih seperti anak kecil.

“Kirin,” panggil Kourin sebelum Kirin masuk ke dalam ruang makan. “Kapan kau akan memberitahunya tentang hal itu?” tanyanya sambil berbisik agar kedua orang yang sudah ada di dalam ruang makan itu tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Itu urusanku,” jawab Kirin cuek. “Maaf, aku tidak bermaksud tidak sopan, Kak Kourin,” ujarnya dengan cepat, karena ia merasa bahwa jawabannya berkesan sombong, dan tidak tepat berbicara seperti itu pada seseorang yang telah menjagamu.

“Tidak apa-apa,” jawab Kourin sambil menepuk kepala Kirin dan tersenyum. “Kau pasti punya pertimbanganmu sendiri ‘kan?” tanyanya.

“Ya,” jawab Kirin sambil mengangguk kecil.

“Kalau begitu, semuanya akan baik-baik saja,” ujar Kourin, dan ia berjalan masuk ke dalam ruang makan, diikuti Kirin yang hanya diam, memikirkan kapan waktu yang terbaik untuk memberitahunya hal itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Esok harinya, Yamato pergi ke luar rumah mereka untuk bermain salju. Karena rumah mereka terletak di pinggir kota, tidak banyak orang yang tinggal di situ sehingga ia bisa bermain dengan tenang, tanpa takut ada orang yang akan dengan iseng melemparnya dengan sebuah bola salju.

Ia berbaring di atas setumpuk salju, dan tersenyum, memperhatikan langit biru yang ada di atasnya. Ia merentangkan kedua tangannya di sisinya, dan mulai menggerakkan keduanya naik turun, perlahan-lahan membentuk figur seorang malaikat di atas salju yang ia tiduri itu. Itulah yang disebut dengan snow angel. Begitu kata seseorang yang amat ia sayangi dulu, ketika ia masih hidup dengan keluarganya di sisi lain kota.

-.-.-.-.-. flashback -.-.-.-.-.

Seorang anak kecil berambut hitam sedang berjalan bersama seorang anak laki-laki lainnya yang juga berambut hitam dan hanya sedikit lebih tinggi darinya. Mereka sedang berjalan pulang dari kunjungan mereka ke toko swalayan yang ada di dekat rumah mereka.

Ketika mereka sedang berjalan melewati sebuah lapangan kecil yang kosong di pinggir jalan, mereka melihat beberapa anak sedang bermain salju. Ada yang membuat boneka salju, ada yang bermain perang salju, ada yang membangun benteng salju, dan ada juga yang berbaring di atas salju dan menggerakkan tangan mereka naik turun.

“Kak Kirin,” panggil anak laki-laki kecil itu sambil menarik lengan jaket kakaknya untuk menarik perhatiannya. “Lihat,” ujarnya sambil menunjuk anak-anak kecil yang sedang berbaring di atas salju sambil dijaga oleh kakak mereka.

“Ya? Kenapa dengan mereka?” tanya Kirin sambil melihat ke arah anak-anak yang sedang bermain-main dengan riangnya di lapangan itu, tidak seperti mereka.

Orang tua mereka baru saja jatuh sakit, dan mereka harus menjaga mereka. Memang ibu mereka sempat menyuruh Kirin untuk menjaga adiknya saja dan pergi ke lapangan kosong di dekat rumah mereka untuk bermain, tapi keduanya menolak untuk melakukan hal itu, dan bersikeras ingin menjaga kedua orang tua mereka.

“Apa yang sedang mereka lakukan?” tanya Yamato.

“Mereka sedang membuat snow angels,” jawab Kirin sambil tersenyum dan mengacak-acak rambut Yamato.

“Sunoo Anjeeru?” tanya Yamato sambil mengedipkan matanya beberapa kali, tanda bahwa ia sedang kebingungan.

Kirin tertawa melihat reaksi adiknya. Ia melihat ke arah adiknya, dan berkata, “Yuki no Tenshi (Jepun: malaikat salju),”

“Oh,” gumam Yamato sambil memperhatikan anak-anak yang masih berbaring di atas salju itu. Memang kalau dipadu dengan jaket mereka yang panjang, figur yang mereka bentuk mirip dengan figur seorang malaikat.

“Ayo pulang,” ajak Kirin sambil menarik tangan Yamato, dan Yamato mengangguk kecil sambil berjalan bersama Kirin, meskipun ia masih tertarik dengan malaikat salju itu.

“Aku akan mengajarimu cara membuatnya nanti, ketika kita tiba di rumah,” ujar Kirin yang sepertinya mengetahui keinginan adiknya.

“Oke,” jawab Yamato dengan girang, dan mereka meneruskan perjalanan mereka pulang ke rumah.

-.-.-.-.-. end of flashback -.-.-.-.-.

Yamato tertawa kecil mengingat kenangan masa lalunya itu. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa ia menganggap Tsutawa Kirin kakaknya. Itu karena mereka berdua memiliki nama yang sama, Kirin. Kakaknya, Kishimoto Kirin, dan Tsutawa Kirin.

Ia terus menggerakkan tangannya naik turun, berusaha mengingat apa yang dikatakan kakaknya ketika ia mengajarinya bagaimana cara membuat malaikat salju itu, dan apa yang dikatakannya tentang kemampuan malaikat salju.

‘Gerakkan tanganmu naik turun untuk membuat siluet sayap,’ gumamnya dalam hati, ‘Dan…’

“Pisahkan kakimu dan gerakkan sedikit untuk membuat siluet kaki dan baju yang dikenakan malaikat itu,” ujar sebuah suara dari atasnya.

“Eh?” seru Yamato kaget sambil menengadahkan kepalanya ke atas, dan melihat Kirin, Tsutawa Kirin, berdiri di belakangnya sambil tersenyum.

“Sepertinya kau benar-benar anak yang pintar,” ujarnya sambil tersenyum dan membelai rambut Yamato.

“Ka- kakak? Ta- tapi…” ujar Yamato tergagap.

“Maafkan aku, Yamato,” ujar Kirin. “Setelah orang tua kita meninggal, aku dibawa pergi oleh Paman, dan akhirnya aku dibawa ke panti asuhan ini karena aku melarikan diri dari rumah paman untuk mencarimu,” jelasnya.

“Kenapa? Kenapa…” gumam Yamato, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaannya yang itu. Ia menghela napas panjang, dan bertanya, “Lalu kenapa… nama keluarga Kakak… Tsutawa?”

“Kamu tidak ingat nama keluarga Ibu?” tanya Kirin sambil tersenyum.

Yamato merasa seakan-akan ia baru saja disambar kilat. Ia baru ingat bahwa nama keluarga ibunya adalah Tsutawa sementara nama keluarga ayahnya adalah Kishimoto. Pantas saja ia merasa pernah mendengar nama Tsutawa ketika Kirin memperkenalkan dirinya pada Yamato dua tahun yang lalu, ketika mereka pertama kali bertemu kembali.

“Aku senang bisa bertemu lagi denganmu,” ujar Kirin sambil memeluk Yamato dengan erat. “Maaf, aku baru memberitahumu sekarang,”

“Tidak apa-apa,” balas Yamato. “Lebih baik terlambat daripada tidak, ‘kan?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

“Ya, terima kasih,” gumam Kirin.

Sementara itu, dari dalam rumah kecil mereka, Kourin dan Kosuke memperhatikan keduanya dengan senyum kecil mengembang di wajah mereka.

“Bila suatu hari nanti kau merasa sedih, buatlah malaikat salju. Mereka mempunyai kekuatan untuk mengabulkan permintaanmu,”

Thursday, August 17, 2006

Trapped - A Stormy Night

“Sampai jumpa besok!”

Teriakan serupa terdengar bergema di daerah di mana tempat bimbingan belajar itu berada. Saat itu sudah malam, tapi murid-murid baru saja selesai mengikuti sesi pelajaran mereka dan baru diperbolehkan pulang saat itu. Teriakan mereka terdengar terburu-buru, karena semuanya langsung berlari bagaikan sekelompok semut berpencar begitu mereka berada di luar tempat itu. Hujan badai akan datang sebentar lagi, dan mereka harus cepat tiba di rumah mereka.

Seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari bangunan bimbingan belajar itu langsung berlari menuruni bukit di mana bangunan tersebut berada. Ia berlari seakan-akan seekor monster raksasa mengejarnya di belakang, dan akan menangkapnya bila ia berhenti sesaat saja. Sesekali ia menengadahkan kepalanya ke atas, dan melihat bahwa awan badai sudah semakin padat, menandakan bahwa badai akan tiba tidak lama lagi, dan ia harus cepat mencari tempat berlindung.

Ia berlari melewati hutan yang membentang, memisahkan bangunan bimbingan belajar itu dari pusat kota. Meskipun ia berlari dengan cepat, ia tetap hati-hati, sehingga ia tidak tersandung batu ataupun akar pohon dan terjatuh. Ia sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya, terlebih lagi saat itu hutannya gelap sekali. Apakah karena ia sudah biasa melakukannya?

Tiba-tiba saja ia melihat secercah cahaya dari sampingnya, dan seketika itu juga ia menghentikan langkahnya, membentangkan tangannya dan berpegangan erat pada sebatang pohon yang besar dan kuat supaya ia tidak terjatuh karena berhenti tiba-tiba.

Setelah memastikan bahwa ia tidak akan terjatuh meskipun ia melepaskan pegagannya pada pohon tersebut, ia berdiri tegap, dan berjalan menghampiri sumber cahaya yang dilihatnya tadi, yang tertutup oleh lebatnya pepohonan di hutan itu.

Setelah melewati sekelompok pohon lebat yang ada di hutan itu, ia akhirnya mengetahui apa yang menjadi sumber cahaya itu. Sebuah bangunan raksasa bagaikan istana berdiri tegap di tanah datar yang ada di hutan itu, memberikan cahaya ke sekelilingnya karena seluruh lampu di dalamnya menyala. Pagar rumah tersebut terbuka, dan berderit-derit tertiup angin, bagaikan tangan yang melambai-lambai ke arah anak tersebut, mengajaknya untuk masuk ke dalam.

Anak itu menelan ludahnya, dan berjalan menghampiri rumah raksasa itu. Badai akan datang sesaat lagi, dan ia membutuhkan tempat untuk berteduh, karena tempat tinggalnya berada jauh dari situ. Jauh sekali.

Ia membuka pagar besi itu lebar-lebar, tidak mengacuhkan derit pintu besi yang sudah karatan, dan menutupnya di belakangnya segera setelah ia berjalan masuk ke dalam lingkungan rumah itu. Ia menengadahkan kepalanya ke atas sekali lagi, dan melihat bahwa sekarang cahaya-cahaya kilat sudah mulai bermunculan di langit malam. Badai sudah tidak lama lagi.

Ia membuka pintu sebelah kanan dari pintu ganda yang membatasi bagian dalam rumah tersebut dengan bagian luarnya, dan berjalan masuk, sebelum ia kembali menutup pintu rumah itu di belakangnya. Meskipun terlihat menyeramkan dari luar, bagian dalam rumah itu tidak terlalu buruk.

Di bagian depan terdapat sebuah ruang tamu yang dihiasi beberapa lukisan dinding dan sebuah lampu kristal. Di tengah ruangan tersebut terdapat satu perangkat sofa yang semuanya menghadap ke arah sebuah perapian. Dari sana, terdapat sebuah lorong panjang yang di sebelah kiri dan kanannya terdapat banyak sekali pintu dari kayu jati, dan di ujungnya terdapat tangga berbentuk spiral yang membawa orang-orang yang berada di rumah tersebut dari lantai pertama ke lantai kedua.

Anak itu menghembuskan napas lega, dan menyisir rambut hitamnya yang agak kusut dengan tangannya. Meskipun rambutnya pendek, karena sejak tadi rambutnya terus-menerus tersangkut ranting pohon yang panjang, rambutnya menjadi kusut. Tepat setelah ia selesai melepas semua ikatan kecil di rambutnya, ia mendengar suara petir yang menggelegar, dan suara hujan deras yang menghantam bumi seakan-akan hendak menghancurkan bumi dengan tekanannya.

“Badai datang lagi rupanya,”

Anak itu langsung menoleh. Ia kemudian bertemu muka dengan seorang wanita barat cantik yang memakai gaun berwarna merah darah. Bibirnya dan matanya berwarna sama dengan bajunya, membuat anak tersebut agak khawatir, tetapi ketika wanita tersebut tersenyum ramah ke arahnya dan mempersilakannya duduk di sofa di depan perapian yang sedang menyala, segala kekhawatirannya lenyap begitu saja, dan dengan senang hati ia menerima tawarannya.

“Apa kau ingin secangkir cokelat panas?” tawar wanita cantik itu sambil tersenyum ke arahnya, memegang sebuah nampan dengan secangkir cokelat panas di atasnya. Ia berjalan ke arah anak itu, dan membiarkan anak itu mengambil cangkir tersebut. “Cokelat itu akan membantumu merasa tetap hangat di tengah-tengah badai seperti ini.”

Anak itu mengambil cangkir cokelat tersebut dan tersenyum ke arah sang pemilik rumah. Setelah ia meminum habis cokelatnya, ia diperbolehkan beristirahat di rumah tersebut sampai badainya mereda, dan bila sampai malam hujannya belum juga mereda, ia boleh menumpang tidur di rumah tersebut dan menunggu sampai pagi baru pulang.

Saat pemilik rumah itu kembali lagi, ia berjalan masuk bersama seorang anak perempuan yang terlihat seumur dengan anak laki-laki tersebut. Ia memperkenalkan putrinya kepada anak itu, dan membiarkan mereka mengobrol sebentara sementara ia menyiapkan kamar tamu supaya anak itu bisa tidur.

“Kamu bukan dari daerah sini,” ujar anak perempuan itu sambil memperhatikan anak laki-laki itu dengan pandangan heran. “Dari mana kau datang?”

Anak laki-laki itu tersenyum mendengar pertanyaan anak perempuan itu, tetapi ia tidak menjawab. Ia hanya mengatakan bahwa bila tiba waktunya, ia akan memberitahukan anak perempuan itu jawaban dari pertanyaan tersebut.

Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya, dan berjalan menuju koridor tersebut, membawa anak laki-laki itu ke kamar tamu yang sedang disiapkan untuknya oleh ibunya. Di koridor tersebut juga tergantung banyak sekali lukisan, dan hampir semua lukisan itu adalah lukisan potret diri seseorang.

“Leluhurmu?” tanya anak laki-laki itu dengan lembut, memperhatikan tiap-tiap lukisan yang ada di sana dengan penuh minat. Semua foto yang terpampang di situ adalah foto wanita-wanita yang amat cantik.

Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya sambil menghentikan langkahnya. Ia menunjuk sebuah lukisan yang berada di ujung koridor, tepat sebelum tangga spiral menuju lantai dua. “Itu adalah lukisan ibu, tapi lukisanku tidak akan bisa dipajang di sini.”

Anak laki-laki itu menyadari bahwa sudah tidak ada tempat lagi di sebelah lukisan sang pemilik rumah, tapi hal itu aneh. Jarak antar lukisan di koridor itu agak jauh, dan ia yakin sekali lukisan-lukisan itu bisa dipindahkan agar lebih dekat sehingga lukisan anak perempuan itu bisa dipajang di sebelah lukisan ibunya nanti. Jadi, mengapa ia mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dilakukan?

Sang pemilik rumah baru saja hendak berjalan menuruni tangga spiral itu ketika ia melihat putrinya dan tamunya berdiri tepat di bawah tangga tersebut. Ia tersenyum ke arah anak laki-laki itu dan menyibak rambutnya yang panjang. “Kamarmu sudah siap. Mari kuantarkan ke kamarmu.”

Ketiganya berjalan menaiki tangga tersebut, dan berjalan menyusuri koridor di lantai dua. Mereka kemudian berhenti di depan sebuah kamar.

“Ini kamarmu untuk malam ini, semoga kamu menyukainya,” ujar wanita tersebut sambil menggandeng tangan putrinya. “Kamarku ada di ujung koridor ini, dan kamar putriku ada di lantai satu. Datanglah bila kau memerlukan sesuatu.”

“Baik,” anak laki-laki itu menyetujui dan melambai ke arah keduanya ketika keduanya berjalan menjauh darinya, melambai ke arahnya dan mengucapkan selamat tidur. Ia kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya, dan terkejut sekali melihat apa yang dilihatnya.

Di dalam ruangan yang amat besar itu, terdapat sebuah tempat tidur raksasa. Di sampingnya, terdapat sebuah lemari baju dengan ukiran antik yang dibuat dari kayu jati, dan sebuah meja kerja yang juga berukiran antik. Tirai di kamar itu berwarna jingga, membuat sinar jingga dari lampu neon yang ada di kamar itu terkesan alami.

Ia mendesah bahagia melihatnya, dan baru saja hendak melemparkan dirinya sendiri ke tempat tidurnya, ketika tiba-tiba seluruh ruangan itu berubah, menjadi sebuah sel tahanan dengan jeruji besi sebagai pintunya, dan batu sebagai temboknya. Jendela ruangan itu juga berubah menjadi lubang besar yang dipasangi jeruji besi, dan tempat tidur raksasa itu berubah menjadi setumpuk kain kasar sedangkan lemari dan meja kerja itu hilang begitu saja.

Terkejut saja tidak cukup untuk menjelaskan apa yang ia rasakan saat itu. Ia terkejut dan takut pada saat yang bersamaan. Rumah yang tadinya terlihat begitu ramah kini terlihat begitu menyeramkan, begitu dingin dan membuatnya merinding.

Ia berjalan keluar dari kamarnya, dan ketika ia hendak menuruni tangga spiral itu untuk keluar dari kamarnya, ia bertemu dengan sang pemilik rumah yang menghentikan langkahnya. “Hendak ke mana malam-malam begini? Badai masih belum berhenti.”

“Ya, tapi badai sudah mereda, dan sepertinya orang-orang mulai akan mencariku,” jawab anak itu sambil tersenyum semanis mungkin ke arah sang pemilik rumah.

“Oh, sayang sekali,” gumam sang pemilik rumah itu sambil tersenyum ke arah anak itu, “padahal aku ingin sekali meminum darah seorang anak kecil yang masih segar,” ujarnya, senyumnya bertambah lebar dan taringnya dapat terlihat dengan jelas.

Melihatnya, anak tersebut nyaris menjerit. Dengan segera ia berlari menuruni tangga spiral itu, berterimakasih kepada siapa pun yang ada di atas sana karena drakula tersebut memakai gaun sehingga ia tidak bisa menuruni tangganya secepat yang ia bisa.

Ia terus berlari menuju ruang depan yang kini juga sudah berubah menjadi gelap dan menyeramkan. Ia terhenti di tengah jalan ketika sosok putri pemilik rumah tersebut berjalan keluar dari rumahnya. Ia baru saja hendak memanggil anak perempuan itu, tapi ia terhenti ketika ia melihat bahwa anak perempuan itu sudah tidak berwujud manusia, melainkan tengkorak yang bergerak-gerak.

“Mau ke mana?” tanyanya, rahang atas dan rahang bawahnya beradu, membuat suara yang tidak mengenakkan. “Padahal aku senang ada yang mau datang berkunjung,” gumamnya.

“Jadi ini mengapa kamu tidak bisa memasang lukisanmu,” gumam anak laki-laki itu, “karena kamu sudah menjadi tengkorak?”

Tengkorak anak perampuan itu tertawa, membuat suara yang semakin tidak mengenakkan karena rahang atas dan rahang bawahnya beradu dengan lebih cepat. Ia kemudian mengangguk, tulang lehernya menekuk sedemikian rupa sehingga ia bisa mengangguk.

Anak perempuan itu mendengar suara langkah kaki ibunya di belakang mereka, dan dengan cepat menjulurkan tangannya yang hanya berupa tulang ke arah anak itu untuk menangkap anak itu dan memberikannya pada ibunya, tapi anak itu lebih cepat darinya.

Secepat mungkin, ia berlari menuju pintu depan rumah itu, dan baru saja hendak berlari keluar, ketika pintu tersebut terbuka, dan sesosok laki-laki tinggi bersayap hitam masuk ke dalam rumah itu, tangan kirinya menggenggam sebatang tombak sementara tangan kanannya berusaha merapikan rambut peraknya yang panjang dan lengket karena tersiram hujan badai di luar.

Anak itu menjerit ketakutan melihatnya. Pertama, ia bertemu dengan drakula, lalu tengkorak, dan sekarang dengan iblis bersayap hitam. Apa yang akan dilakukan mereka padanya sekarang?

Tiba-tiba saja laki-laki itu terlihat kesal dan ia memukul kepala anak laki-laki itu dengan tongkatnya. “Hei Dread, kalau ini hari biasa, aku pasti akan ikut bermain denganmu dan pura-pura ingin membunuhmu, tapi Misery dan Chaos membutuhkan kita sekarang juga.”

Anak laki-laki itu memperhatikan laki-laki itu dan mengangkat sebelah alisnya. Kepulan asap muncul, dan detik berikutnya, sebagai ganti anak laki-laki itu, berdirilah seorang laki-laki yang juga bersayap hitam dan membawa tongkat.

Drakula bersama anaknya itu menghentikan langkah mereka melihat perubahannya.

“Pantas aku merasa kamu dari dunia lain, bukan dari dunia manusia,” gumam putri drakula tersebut, dan Dread hanya menyeringai lebar ke arah anak perempuan itu.

“Oke deh, sampai jumpa! Senang juga bermain dengan kalian!” seru Dread sambil berjalan keluar dari rumah tersebut bersama temannya itu. “Lain kali akan kuusahakan tidak mengerjai kalian seperti saat ini lagi,” tambahnya sambil tertawa.

Temannya itu kembali memukul kepalanya dengan tongkatnya sebagai peringatan, dan ia melotot ke arahnya. Melihatnya, Dread hanya tersenyum kecil ke arah temannya itu.

“Aku mengerti, ayo pergi, Death.”

Monday, July 24, 2006

Pohon Besar dan Bambu

Ini juga sebenarnya drabble atau cerita singkat yang bisa membuat kita berpikir dua kali tentang maksud yang tersembunyi, atau membuat kita merenung, tapi kuharap kalian bisa menikmatinya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Pohon tinggi biasanya terkesan amat gagah. Berdiri tegap tinggi menjulang, menantang langit yang tiada batas dengan setiap saat tumbuh tinggi dan berusaha menggapai langit.

Murid-murid pun seperti itu. Dengan bantuan pupuk dan air yang adalah guru-guru dan orang tua, mereka yang adalah pohon-pohon itu terus tumbuh tinggi, berusaha menggapai langit dalam genggaman mereka.

Namun, semakin tinggi mereka tumbuh, semakin kencang pula angin yang menerpa mereka, dan bila suatu saat terjadi badai, mereka akan menjadi semakin mudah untuk dirubuhkan, terutama bila mereka menjadi congkak dan melupakan pencipta mereka, yang bertindak sebagai akar yang membuat mereka tetap teguh berdiri meskipun ada angin ribut.

Aku tidak pernah menetapkan target setinggi langit untuk diriku sendiri. Bila boleh memilih, aku tidak akan memilih untuk menjadi pohon yang tinggi besar namun bisa dengan mudahnya dirubuhkan angin kencang, dan terus-menerus memerlukan air dan pupuk untuk tumbuh.

Aku ingin menjadi seperti kaktus, yang bisa bertahan hidup tanpa banyak air dan pupuk, dan bisa bertahan hidup di mana saja. Aku ingin mandiri seperti kaktus yang bisa hidup sendiri, tapi juga bisa membawa berkah bagi orang lain seperti kaktus yang memberikan sarinya bagi orang-orang yang tersesat dan kehausan di tengah gurun tanpa persediaan air.

Dan aku juga ingin menjadi seperti bambu. Bambu memang tidak bisa tumbuh setinggi pohon-pohon lainnya, namun dalam angin ribut sekencang apa pun, bambu tetap berdiri teguh. Bambu selalu mengikuti arah angin, sama seperti aku ingin bisa mengikuti arus perubahan dan perkembangan, namun dalam angin sekencang apa pun, bambu tidak rubuh. Bambu tetap berpegang teguh pada akarnya yang adalah penciptanya, dan tidak dengan mudah dirubuhkan. Bambu juga, meskipun tidak tinggi, bisa menjadi pagar alami, pagar yang bisa melindungi orang yang tinggal di dalam rumah dengan pagar alami dari bambu.

Aku tidak akan berharap menjadi pohon yang tinggi. Asalkan bisa berguna seperti orang lain, itu saja sudah cukup.

Leader or Follower?

Sebenarnya ini lebih mirip drabble atau cerita singkat yang bersifat renungan, tapi kuharap kalian tetap menikmatinya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Di dunia ini ada bermilyar-milyar manusia, namun tidak semuanya bisa berada di atas, dan tetap berada di atas.

Memang semua orang diajarkan kepemimpinan, bagaimana cara menjadi pemimpin yang baik, dan lain sebagainya, tapi itu saja tidak cukup.

Bila di dunia ini semua orang menjadi pemimpin, siapa yang akan mereka pimpin? Siapa yang akan menjadi bawahan mereka?

Pertanyaan itu akan terus muncul, sehingga tidak semua manusia bisa menjadi pemimpin. Harus ada orang yang rela menjadi bawahan dan mematuhi kata-kata pemimpinnya, seperti kata seorang bijak.

"Bila kamu tidak dapat menjadi pemimpin, jadilah bawahan, tapi jadilah bawahan yang terbaik."

Wednesday, July 19, 2006

Soul Reaper

Malam ini, sama seperti dua malam sebelumnya, bulan bersinar dengan penuh, membuat bintang-bintang yang berada di sekitarnya seakan-akan tidak ada. Mungkin itu juga yang terjadi pada Chaos dua tahun terakhir ini.

Sejak kematian ayahnya, Misery, yang menjadi penerus takhta kerajaan bawah tanah ini adalah Chaos, yang sekarang masih berwujud anak kecil yang sepertinya masih duduk di kelas 5 SD. Bukankah ini menyedihkan sekali?

“Death,” panggil sebuah suara dari belakangku dan aku menoleh untuk melihat siapa itu. Temanku, Dread, berada di ambang pintu, memperhatikanku yang sedang duduk di dekat jendela sambil bersandar pada daun jendela.

“Ada apa lagi kali ini?” tanyaku sambil mendesah. Kami semua baru tahu bahwa bukan hanya wujudnya saja yang kekanakan, tetapi pikiran Chaos juga masih sangat kekanakan. Ia sangat egois, dan tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatan-perbuatannya.

“Ia memintamu pergi ke SMU di dekat sini dan mengumpulkan jiwa lagi untuk membantu Chaos melaksanakan inisiasinya agar ia bisa dengan sah duduk di singgasana kerajaan yang kini sudah kosong,” jelas Dread sambil ikut mendesah. Ia mengulurkan tangannya dan menepuk pundakku dengan pelan. “Hati-hatilah,” peringatnya sebelum ia berjalan keluar dari ruangan kecilku.

Kami adalah Soul Reaper, makhluk bersayap hitam dan berdarah dingin yang bertugas membunuh orang untuk mengambil jiwanya sebagai persembahan untuk melakukan berbagai ritual, dan salah satunya adalah inisiasi yang disebutkan Dread tadi.

Dan sebagai salah satu Soul Reaper senior, aku tidak heran bila aku yang diberi tugas untuk pergi memburu nyawa. Dread juga pasti sudah diberi tugas di tempat lain. Seperti biasa, kami berdua selalu menjadi orang pertama yang disuruh pemimpin kerajaan ini bila mereka memerlukan nyawa manusia untuk melaksanakan ritual yang harus mereka laksanakan karena posisi mereka sebagai raja.

“Merepotkan,” bisikku sambil mengambil sebuah pita hitam dan mengikat rambutku yang panjang agar tidak menganggu. Karena rambutku berwarna perak, tidak terlalu berguna memakai pakaian serba hitam dalam kegelapan malam. Orang-orang dapat dengan mudahnya melihat rambut perakku yang bersinar di bawah sinar bulan.

Aku berjalan mengambil sabit kebanggaanku, dan berjalan keluar dari ruangan kecil dan gelap yang kutinggali itu, menuju dunia manusia, yang dipenuhi manusia-manusia yang tidak menyangka hidupnya akan berakhir tidak lama lagi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Ini adalah teman baru kalian, Shinohana Kaede,” ujar guru dari kelas kecil ini sambil memperkenalkan diriku yang baru saja mendaftar di sekolah ini sebagai seorang murid.

Kemarin, aku langsung pergi ke SMU terdekat yang dimaksud Dread, dan menemukan sebuah SMU swasta di daerah Tokyo, daerah yang amat ramai, dan merupakan sasaran empuk bagi para Soul Reaper.

Dan asal mau tahu saja, Shinohana Kaede itu bukan nama samaran buatanku. Itu adalah nama orang pertama yang kubunuh dan kuambil jiwanya kemarin. Aku sempat melihat kartu pelajarnya, dan menyadari bahwa ia cukup mirip denganku. Kenapa tidak mengambil identitasnya sekalian untuk mempermudah pekerjaanku?

“Silakan duduk di belakang,” guru itu mempersilakan, dan dengan cepat aku berjalan menuju tempat duduk yang ia tunjuk. Ada apa sih dengan orang-orang di kelas ini? Memangnya ia tidak pernah melihat laki-laki berambut panjang?

“Hei,” panggil seseorang yang duduk di sebelahku, yang ternyata adalah seorang murid yang wajahnya sangat mirip dengan Dread.

“Apa?” tanyaku dengan dingin, berharap ia akan menyerah dan tidak mau berbicara denganku lagi, tapi sepertinya aturan itu tidak berlaku bagi orang-orang bodoh seperti dia.

“Namamu Kaede ‘kan? Namaku Riku, Yuzumaru Riku,” ujarnya memperkenalkan diri sambil menyengir lebar. Persis seorang badut. “Salam kenal,”

“Hn,” balasku dengan cuek, sekali lagi berharap ia akan menyerah dan tidak mau bebricara denganku lagi, tapi sepertinya ia itu benar-benar tidak bisa mengerti bila hanya diberi petunjuk.

“Heheh, mulai sekarang kita teman ya! Kamu suka makanan apa? Biasanya kami pergi ke kantin untuk makan siang, dan ada banyak makanan yang dijual di situ! Kalau kau mau aku bisa mengantarmu ke sana dan…”

Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang bagiku. Mengapa aku setuju melakukan tugas ini ya?

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Kami Soul Reaper memang bukan vampir yang akan mati bila berhubungan dengan sinar matahari langsung, tapi kami tetap membenci sinar matahari. Mungkin karena kami sudah terlalu banyak tinggal di bawah tanah. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin itu pula sebabnya aku tidak mau berada di luar gedung sekolah ini.

Hm? Telepon genggamku berdering. Siapa yang meneleponku? Chaos?

Telepon genggam yang dimiliki para Soul Reaper sebenarnya adalah alat khusus untuk saling berhubungan satu sama lain tanpa perlu nomor atau apa pun. Cukup menyebutkan nama Soul Reaper yang dituju. Karena itu Misery bersikeras menyuruh semua Soul Reaper membawanya sebelum pergi bertugas. Itu karena ia peduli pada Soul Reaper bawahannya. Ia tidak mau mereka menghilang atau mati di tengah misi tanpa ada yang bisa menolong.

“Halo?”

“Death?”

Sebuah suara yang amat kukenal. Suara teman baikku. Namun entah sejak kapan, Dread telah berubah. Ia tidak lagi Dread yang kukenal. Ia telah menjadi pion catur yang bisa dengan seenaknya dilangkahkan Chaos ke mana pun dia mau, bahkan ke ujung jurang sekalipun.

“Ada apa?”

Terdengar sebuah desahan dari ujung sana, dan aku langsung meningkatkan kesiagaanku. Sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi. Apakah Chaos membuat ulah lagi?

“Kau tahu, aku pernah memberitahumu tentang alter egoku? Sang malaikat yang dihukum ke bumi?”

Oh. Cerita yang waktu itu. Kukira dia hanya berbohong waktu itu. Tapi itu mungkin penyebab mengapa anak -bernama… siapa… Riko? Ah sudahlah, namanya tidak penting- itu mirip sekali dengan Dread. Apakah dia alter ego yang dimaksud Dread?

“Ternyata untuk upacara inisiasi Chaos diperlukan jiwa seorang malaikat, karena ia masih terlalu muda, dan para tetua menganggapnya belum pantas, kecuali dia bisa mendapatkan jiwa seorang malaikat dan mempersembahkannya pada mereka,”

“Dan kita harus bersusah payah mendapatkan jiwa seorang malaikat hanya untuk itu? Dread, kau tentu tahu ini lebih baik daripada aku. Dia alter egomu. Lagipula bila ada seorang malaikat yang jiwanya diambil, malaikat yang lain akan langsung bertindak,”

“Death,”

Aku langsung terdiam. Aku tidak suka nada bicara Dread bila ia sudah terdengar serius sekali. Kalau aku jadi dia, aku tidak akan mau merelakan alter egoku dikorbankan seperti itu, meskipun alter egoku adalah seorang malaikat sekalipun.

“Kita harus melakukannya. Ini demi Chaos, dan demi dunia kita juga. Tanpa pemerintah yang berkuasa, semua Soul Reaper akan berusaha mengambil posisi penguasa itu, dan mereka akan berlomba mendapatkan jiwa-jiwa yang diperlukan. Bila itu terjadi, akan lebih banyak lagi korban yang terjatuh, baik para manusia, para malaikat, dan para Soul Reaper itu sendiri. Kau tentu mengerti hal ini, ‘kan, Death?”

Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku tahu Dread benar, tapi aku tetap tidak rela. Aku tidak mau Chaos yang menjadi pemerintah di dunia kami. Chaos masih terlalu kekanakan. Ia masih belum membuktikan kelayakannya sendiri menjadi pemerintah di dunia kami.

“Aku mengerti. Jadi aku harus mengambil jiwa alter egomu yang adalah malaikat itu?”

“Ya. Kebetulan dia bersekolah di sekolah yang sama dengan sekolah yang kaudatangi itu. Carilah orang yang mirip denganku. Kalau tidak salah, nama keluarga yang merawatnya ketika ia pertama kali diturunkan ke bumi adalah Yuzumaru,”

Ternyata benar anak tadi orangnya. Dia benar-benar alter ego dari Dread. Bila Dread adalah seorang yang serius, tegas, dan bertanggung jawab, anak tadi periang, santai, dan tidak mau banyak berpikir. Benar-benar keterbalikan dari Dread.

“Bagaimana tentang posisi target? Apakah semuanya sudah ditentukan?”

“Malam ini, di taman yang ada di pinggir kota. Fear sudah menyebarkan selebaran palsu pada murid-murid SMU itu. Seharusnya jumlahnya cukup. Kalaupun tidak, Fear dan Pain sudah mengumpulkan banyak jiwa juga. Jadi tugas utamamu saat ini adalah mendapatkan sisanya, dan mendapatkan jiwa malaikat itu,”

Dread menutup teleponnya, dan aku juga menutupnya, sebelum aku memasukkannya kembali ke dalam tas yang kubawa ke sekolah. Tas itu juga sebelumnya dipunyai Shinohana Kaede.

Taman pinggir kota… apakah itu tempat yang sama di mana aku mengambil jiwa murid bernama Shinohana Kaede itu? Memang tempat itu sepi dan terpencil sih, tapi apakah para murid SMU ini akan percaya selebaran itu?

Ah, sudahlah. Hal itu bukan urusanku. Tugasku hanyalah menunggu di tempat itu, dan mengambil jiwa mereka semua. Bila tidak ada yang datang, itu salah Fear dan bukan salahku.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Malam ini, sama seperti malam itu. Aku masih bisa melihat tubuh siswi yang kuambil jiwanya itu dari atas pohon yang rantingnya kutumpangi. Tubuhnya kusembunyikan di balik semak-semak yang ada di taman tak terurus ini.

Dengan setengah hati aku duduk di atas ranting pohon beringin, menunggu sampai murid-murid SMU itu datang ke sini karena tertipu selebaran palsu yang disebarkan Fear. Dan mungkin juga Pain, karena mereka selalu berdua ke mana pun mereka pergi. Mungkin karena mereka kembar.

Sudah sepuluh menit dari waktu yang tertulis di selebaran itu, namun murid-murid SMU itu masih belum juga muncul. Apa ada sesuatu yang terjadi?

Karena bosan menunggu, aku mulai memainkan sabitku dengan jari-jariku, memutar-mutarnya seperti anggota color guard memutar-mutar bendera yang mereka bawa. Aku berhenti dan menutup sayap hitamku yang besar supaya tidak kelihatan ketika aku mendengar suara langkah seseorang memasuki taman itu. Tapi mengapa aku hanya mendengar suara langkah satu orang? Apa yang terjadi pada yang lainnya?

Ketika aku menengok ke bawah, yang kulihat hanyalah sekelebat warna hijau tua, dan detik berikutnya aku saling berpandangan dengan sepasang mata berwarna merah darah. Meskipun warnanya merah darah, kedua mata itu tidak terlihat kejam maupun tanpa ampun. Kedua mata itu malah terlihat sedih dan… simpatik?

“Turunlah, Death,” bisiknya sambil melihat ke arahku. Air mukanya berubah menjadi lebih sedih lagi.

Aku mengembangkan sayapku, dan terbang turun dari tempatku duduk, dan mendarat tepat di depan anak itu, menyiapkan sabitku agar aku bisa langsung membunuhnya bila ia berusaha melakukan hal yang aneh-aneh.

Ketika aku mengarahkan ujung sabitku ke arahnya, ia bukannya merasa takut. Ia malah tersenyum ke arahku.

“Kau memerlukan jiwa malaikat ‘kan?” tanyanya dengan santai. “Akan kuberikan nyawaku, tapi sebagai gantinya, jangan ambil jiwa murid-murid SMU itu,”

Aku terkejut sesaat mendengar permintaannya. Memangnya dia pikir dia siapa, bisa seenaknya menyuruh-nyuruhku seperti itu? Yang membuatku terkejut juga adalah kenyataan bahwa dia mendengar pembicaraanku dengan Dread di telepon tadi.

“Mengapa?”

Pertanyaan yang amat klise namun mempunyai banyak sekali makna terlontar dari mulutku. Dengan tenang ia balas memperhatikanku yang memperhatikannya dengan setengah melotot. Ia tidak tampak takut mati.

“Karena bila mereka mati, pasti ada yang menangisi mereka dan mengkhawatirkan mereka, tapi bila aku mati tidak ada yang akan mengkhawatirkanku,” jelasnya sambil memaksakan sebuah senyum ke arahku.

Aku benci orang-orang seperti dia. Dread juga sama. Mengapa mereka tidak bisa jujur pada keinginan mereka sendiri!?

Aku mendekatkan ujung sabitku ke lehernya, dan menghentikan ujung sabitnya tepat di sebelah urat nadi yang ada di lehernya. “Apa kamu yakin?”

Ia tersenyum, dan menganggukkan kepalanya. “Lagipula, bila ini bisa membantumu dan Dread, aku akan dengan senang hati melakukannya…” ujarnya pelan, “Karena Dread adalah satu-satunya orang yang pernah memperhatikanku, dan kamu adalah satu-satunya orang yang masih menjawab ketika kusapa,”

Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku hanya menjawab sapaannya dengan satu kata, dan itu pun diucapkan dengan amat kasar, tapi ia mau mengorbankan nyawanya demi aku?

“Baik, kalau itu memang yang kaumau,” gumamku. Ia tersenyum dan mengangguk ke arahku. Aku menurunkan sabitku, dan mulai membaca sebuah mantera. Mantera tradisional para Soul Reaper yang digunakan para Soul Reaper untuk mencabut nyawa orang yang mereka sayangi, dan tidak mau mereka bunuh.

Perlahan-lahan, roh anak itu mulai meninggalkan tubuhnya, melayang-layang di atas tubuhnya yang kini tergeletak di atas tanah di tengah-tengah taman itu. Rohnya terhubung dengan tubuhnya dengan sehelai benang tipis berwarna putih yang hanya bisa diputuskan oleh sabit dewa kematian atau Soul Reaper.

Rohnya masih sempat tersenyum ke arahku bahkan ketika aku mengayunkan sabitku. Roh yang jiwanya diambil untuk persembahan tidak akan bisa pergi ke alam sana, dan mereka akan menghilang begitu saja. Benang itu terputus, dan rohnya menghilang ke tempat persembahan.

Aku berdiri menatap tubuhnya yang terbaring tidak bernyawa di atas tanah. Tiba-tiba saja, beberapa tetes air berjatuhan ke atas tanah dan pandanganku mengabur. Aku mengangkat tangan kiriku dan mengusap mataku, merasakan sesuatu yang basah dan hangat.

Tiba-tiba saja, sebuah tangan menepuk pundakku. Aku tahu siapa itu. Aku mengenal semua aspek Dread seperti aku mengenal diriku sendiri, dan hanya merasakan keberadaannya di belakangku saja sudah bisa membuatku mengetahui bahwa itu dia yang berdiri di belakangku.

“Death, maaf aku telah membuatmu melakukan sesuatu yang amat sulit. Seharusnya aku melakukan ini sendiri,”

Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak. Tadi ia berkata bahwa kamu adalah satu-satunya orang yang pernah peduli padanya. Bila membunuhnya sudah amat susah seperti ini bagiku, apalagi bagi kamu yang sempat peduli padanya?”

Aku bisa merasakan senyum Dread meskipun aku tidak bisa melihatnya. Ia menepuk pundakku sekali lagi. “Ayo kita pulang,”

Aku mengangguk, dan berbalik mengikuti Dread menuju gerbang sementara yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia para Soul Reaper. Aku menoleh ke belakang sekali lagi untuk memastikan bahwa mayat anak itu masih ada di situ, dan kemudian menghentikan langkahku.

“Hei Dread,”

“Ya?”

“Sejak kapan aku menjadi ‘No One’?”