Raphael's Stories

My Photo
Name:
Location: Sydney, NSW, Australia

Monday, July 24, 2006

Pohon Besar dan Bambu

Ini juga sebenarnya drabble atau cerita singkat yang bisa membuat kita berpikir dua kali tentang maksud yang tersembunyi, atau membuat kita merenung, tapi kuharap kalian bisa menikmatinya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Pohon tinggi biasanya terkesan amat gagah. Berdiri tegap tinggi menjulang, menantang langit yang tiada batas dengan setiap saat tumbuh tinggi dan berusaha menggapai langit.

Murid-murid pun seperti itu. Dengan bantuan pupuk dan air yang adalah guru-guru dan orang tua, mereka yang adalah pohon-pohon itu terus tumbuh tinggi, berusaha menggapai langit dalam genggaman mereka.

Namun, semakin tinggi mereka tumbuh, semakin kencang pula angin yang menerpa mereka, dan bila suatu saat terjadi badai, mereka akan menjadi semakin mudah untuk dirubuhkan, terutama bila mereka menjadi congkak dan melupakan pencipta mereka, yang bertindak sebagai akar yang membuat mereka tetap teguh berdiri meskipun ada angin ribut.

Aku tidak pernah menetapkan target setinggi langit untuk diriku sendiri. Bila boleh memilih, aku tidak akan memilih untuk menjadi pohon yang tinggi besar namun bisa dengan mudahnya dirubuhkan angin kencang, dan terus-menerus memerlukan air dan pupuk untuk tumbuh.

Aku ingin menjadi seperti kaktus, yang bisa bertahan hidup tanpa banyak air dan pupuk, dan bisa bertahan hidup di mana saja. Aku ingin mandiri seperti kaktus yang bisa hidup sendiri, tapi juga bisa membawa berkah bagi orang lain seperti kaktus yang memberikan sarinya bagi orang-orang yang tersesat dan kehausan di tengah gurun tanpa persediaan air.

Dan aku juga ingin menjadi seperti bambu. Bambu memang tidak bisa tumbuh setinggi pohon-pohon lainnya, namun dalam angin ribut sekencang apa pun, bambu tetap berdiri teguh. Bambu selalu mengikuti arah angin, sama seperti aku ingin bisa mengikuti arus perubahan dan perkembangan, namun dalam angin sekencang apa pun, bambu tidak rubuh. Bambu tetap berpegang teguh pada akarnya yang adalah penciptanya, dan tidak dengan mudah dirubuhkan. Bambu juga, meskipun tidak tinggi, bisa menjadi pagar alami, pagar yang bisa melindungi orang yang tinggal di dalam rumah dengan pagar alami dari bambu.

Aku tidak akan berharap menjadi pohon yang tinggi. Asalkan bisa berguna seperti orang lain, itu saja sudah cukup.

Leader or Follower?

Sebenarnya ini lebih mirip drabble atau cerita singkat yang bersifat renungan, tapi kuharap kalian tetap menikmatinya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Di dunia ini ada bermilyar-milyar manusia, namun tidak semuanya bisa berada di atas, dan tetap berada di atas.

Memang semua orang diajarkan kepemimpinan, bagaimana cara menjadi pemimpin yang baik, dan lain sebagainya, tapi itu saja tidak cukup.

Bila di dunia ini semua orang menjadi pemimpin, siapa yang akan mereka pimpin? Siapa yang akan menjadi bawahan mereka?

Pertanyaan itu akan terus muncul, sehingga tidak semua manusia bisa menjadi pemimpin. Harus ada orang yang rela menjadi bawahan dan mematuhi kata-kata pemimpinnya, seperti kata seorang bijak.

"Bila kamu tidak dapat menjadi pemimpin, jadilah bawahan, tapi jadilah bawahan yang terbaik."

Wednesday, July 19, 2006

Soul Reaper

Malam ini, sama seperti dua malam sebelumnya, bulan bersinar dengan penuh, membuat bintang-bintang yang berada di sekitarnya seakan-akan tidak ada. Mungkin itu juga yang terjadi pada Chaos dua tahun terakhir ini.

Sejak kematian ayahnya, Misery, yang menjadi penerus takhta kerajaan bawah tanah ini adalah Chaos, yang sekarang masih berwujud anak kecil yang sepertinya masih duduk di kelas 5 SD. Bukankah ini menyedihkan sekali?

“Death,” panggil sebuah suara dari belakangku dan aku menoleh untuk melihat siapa itu. Temanku, Dread, berada di ambang pintu, memperhatikanku yang sedang duduk di dekat jendela sambil bersandar pada daun jendela.

“Ada apa lagi kali ini?” tanyaku sambil mendesah. Kami semua baru tahu bahwa bukan hanya wujudnya saja yang kekanakan, tetapi pikiran Chaos juga masih sangat kekanakan. Ia sangat egois, dan tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatan-perbuatannya.

“Ia memintamu pergi ke SMU di dekat sini dan mengumpulkan jiwa lagi untuk membantu Chaos melaksanakan inisiasinya agar ia bisa dengan sah duduk di singgasana kerajaan yang kini sudah kosong,” jelas Dread sambil ikut mendesah. Ia mengulurkan tangannya dan menepuk pundakku dengan pelan. “Hati-hatilah,” peringatnya sebelum ia berjalan keluar dari ruangan kecilku.

Kami adalah Soul Reaper, makhluk bersayap hitam dan berdarah dingin yang bertugas membunuh orang untuk mengambil jiwanya sebagai persembahan untuk melakukan berbagai ritual, dan salah satunya adalah inisiasi yang disebutkan Dread tadi.

Dan sebagai salah satu Soul Reaper senior, aku tidak heran bila aku yang diberi tugas untuk pergi memburu nyawa. Dread juga pasti sudah diberi tugas di tempat lain. Seperti biasa, kami berdua selalu menjadi orang pertama yang disuruh pemimpin kerajaan ini bila mereka memerlukan nyawa manusia untuk melaksanakan ritual yang harus mereka laksanakan karena posisi mereka sebagai raja.

“Merepotkan,” bisikku sambil mengambil sebuah pita hitam dan mengikat rambutku yang panjang agar tidak menganggu. Karena rambutku berwarna perak, tidak terlalu berguna memakai pakaian serba hitam dalam kegelapan malam. Orang-orang dapat dengan mudahnya melihat rambut perakku yang bersinar di bawah sinar bulan.

Aku berjalan mengambil sabit kebanggaanku, dan berjalan keluar dari ruangan kecil dan gelap yang kutinggali itu, menuju dunia manusia, yang dipenuhi manusia-manusia yang tidak menyangka hidupnya akan berakhir tidak lama lagi.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Ini adalah teman baru kalian, Shinohana Kaede,” ujar guru dari kelas kecil ini sambil memperkenalkan diriku yang baru saja mendaftar di sekolah ini sebagai seorang murid.

Kemarin, aku langsung pergi ke SMU terdekat yang dimaksud Dread, dan menemukan sebuah SMU swasta di daerah Tokyo, daerah yang amat ramai, dan merupakan sasaran empuk bagi para Soul Reaper.

Dan asal mau tahu saja, Shinohana Kaede itu bukan nama samaran buatanku. Itu adalah nama orang pertama yang kubunuh dan kuambil jiwanya kemarin. Aku sempat melihat kartu pelajarnya, dan menyadari bahwa ia cukup mirip denganku. Kenapa tidak mengambil identitasnya sekalian untuk mempermudah pekerjaanku?

“Silakan duduk di belakang,” guru itu mempersilakan, dan dengan cepat aku berjalan menuju tempat duduk yang ia tunjuk. Ada apa sih dengan orang-orang di kelas ini? Memangnya ia tidak pernah melihat laki-laki berambut panjang?

“Hei,” panggil seseorang yang duduk di sebelahku, yang ternyata adalah seorang murid yang wajahnya sangat mirip dengan Dread.

“Apa?” tanyaku dengan dingin, berharap ia akan menyerah dan tidak mau berbicara denganku lagi, tapi sepertinya aturan itu tidak berlaku bagi orang-orang bodoh seperti dia.

“Namamu Kaede ‘kan? Namaku Riku, Yuzumaru Riku,” ujarnya memperkenalkan diri sambil menyengir lebar. Persis seorang badut. “Salam kenal,”

“Hn,” balasku dengan cuek, sekali lagi berharap ia akan menyerah dan tidak mau bebricara denganku lagi, tapi sepertinya ia itu benar-benar tidak bisa mengerti bila hanya diberi petunjuk.

“Heheh, mulai sekarang kita teman ya! Kamu suka makanan apa? Biasanya kami pergi ke kantin untuk makan siang, dan ada banyak makanan yang dijual di situ! Kalau kau mau aku bisa mengantarmu ke sana dan…”

Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang bagiku. Mengapa aku setuju melakukan tugas ini ya?

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Kami Soul Reaper memang bukan vampir yang akan mati bila berhubungan dengan sinar matahari langsung, tapi kami tetap membenci sinar matahari. Mungkin karena kami sudah terlalu banyak tinggal di bawah tanah. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin itu pula sebabnya aku tidak mau berada di luar gedung sekolah ini.

Hm? Telepon genggamku berdering. Siapa yang meneleponku? Chaos?

Telepon genggam yang dimiliki para Soul Reaper sebenarnya adalah alat khusus untuk saling berhubungan satu sama lain tanpa perlu nomor atau apa pun. Cukup menyebutkan nama Soul Reaper yang dituju. Karena itu Misery bersikeras menyuruh semua Soul Reaper membawanya sebelum pergi bertugas. Itu karena ia peduli pada Soul Reaper bawahannya. Ia tidak mau mereka menghilang atau mati di tengah misi tanpa ada yang bisa menolong.

“Halo?”

“Death?”

Sebuah suara yang amat kukenal. Suara teman baikku. Namun entah sejak kapan, Dread telah berubah. Ia tidak lagi Dread yang kukenal. Ia telah menjadi pion catur yang bisa dengan seenaknya dilangkahkan Chaos ke mana pun dia mau, bahkan ke ujung jurang sekalipun.

“Ada apa?”

Terdengar sebuah desahan dari ujung sana, dan aku langsung meningkatkan kesiagaanku. Sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi. Apakah Chaos membuat ulah lagi?

“Kau tahu, aku pernah memberitahumu tentang alter egoku? Sang malaikat yang dihukum ke bumi?”

Oh. Cerita yang waktu itu. Kukira dia hanya berbohong waktu itu. Tapi itu mungkin penyebab mengapa anak -bernama… siapa… Riko? Ah sudahlah, namanya tidak penting- itu mirip sekali dengan Dread. Apakah dia alter ego yang dimaksud Dread?

“Ternyata untuk upacara inisiasi Chaos diperlukan jiwa seorang malaikat, karena ia masih terlalu muda, dan para tetua menganggapnya belum pantas, kecuali dia bisa mendapatkan jiwa seorang malaikat dan mempersembahkannya pada mereka,”

“Dan kita harus bersusah payah mendapatkan jiwa seorang malaikat hanya untuk itu? Dread, kau tentu tahu ini lebih baik daripada aku. Dia alter egomu. Lagipula bila ada seorang malaikat yang jiwanya diambil, malaikat yang lain akan langsung bertindak,”

“Death,”

Aku langsung terdiam. Aku tidak suka nada bicara Dread bila ia sudah terdengar serius sekali. Kalau aku jadi dia, aku tidak akan mau merelakan alter egoku dikorbankan seperti itu, meskipun alter egoku adalah seorang malaikat sekalipun.

“Kita harus melakukannya. Ini demi Chaos, dan demi dunia kita juga. Tanpa pemerintah yang berkuasa, semua Soul Reaper akan berusaha mengambil posisi penguasa itu, dan mereka akan berlomba mendapatkan jiwa-jiwa yang diperlukan. Bila itu terjadi, akan lebih banyak lagi korban yang terjatuh, baik para manusia, para malaikat, dan para Soul Reaper itu sendiri. Kau tentu mengerti hal ini, ‘kan, Death?”

Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku tahu Dread benar, tapi aku tetap tidak rela. Aku tidak mau Chaos yang menjadi pemerintah di dunia kami. Chaos masih terlalu kekanakan. Ia masih belum membuktikan kelayakannya sendiri menjadi pemerintah di dunia kami.

“Aku mengerti. Jadi aku harus mengambil jiwa alter egomu yang adalah malaikat itu?”

“Ya. Kebetulan dia bersekolah di sekolah yang sama dengan sekolah yang kaudatangi itu. Carilah orang yang mirip denganku. Kalau tidak salah, nama keluarga yang merawatnya ketika ia pertama kali diturunkan ke bumi adalah Yuzumaru,”

Ternyata benar anak tadi orangnya. Dia benar-benar alter ego dari Dread. Bila Dread adalah seorang yang serius, tegas, dan bertanggung jawab, anak tadi periang, santai, dan tidak mau banyak berpikir. Benar-benar keterbalikan dari Dread.

“Bagaimana tentang posisi target? Apakah semuanya sudah ditentukan?”

“Malam ini, di taman yang ada di pinggir kota. Fear sudah menyebarkan selebaran palsu pada murid-murid SMU itu. Seharusnya jumlahnya cukup. Kalaupun tidak, Fear dan Pain sudah mengumpulkan banyak jiwa juga. Jadi tugas utamamu saat ini adalah mendapatkan sisanya, dan mendapatkan jiwa malaikat itu,”

Dread menutup teleponnya, dan aku juga menutupnya, sebelum aku memasukkannya kembali ke dalam tas yang kubawa ke sekolah. Tas itu juga sebelumnya dipunyai Shinohana Kaede.

Taman pinggir kota… apakah itu tempat yang sama di mana aku mengambil jiwa murid bernama Shinohana Kaede itu? Memang tempat itu sepi dan terpencil sih, tapi apakah para murid SMU ini akan percaya selebaran itu?

Ah, sudahlah. Hal itu bukan urusanku. Tugasku hanyalah menunggu di tempat itu, dan mengambil jiwa mereka semua. Bila tidak ada yang datang, itu salah Fear dan bukan salahku.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Malam ini, sama seperti malam itu. Aku masih bisa melihat tubuh siswi yang kuambil jiwanya itu dari atas pohon yang rantingnya kutumpangi. Tubuhnya kusembunyikan di balik semak-semak yang ada di taman tak terurus ini.

Dengan setengah hati aku duduk di atas ranting pohon beringin, menunggu sampai murid-murid SMU itu datang ke sini karena tertipu selebaran palsu yang disebarkan Fear. Dan mungkin juga Pain, karena mereka selalu berdua ke mana pun mereka pergi. Mungkin karena mereka kembar.

Sudah sepuluh menit dari waktu yang tertulis di selebaran itu, namun murid-murid SMU itu masih belum juga muncul. Apa ada sesuatu yang terjadi?

Karena bosan menunggu, aku mulai memainkan sabitku dengan jari-jariku, memutar-mutarnya seperti anggota color guard memutar-mutar bendera yang mereka bawa. Aku berhenti dan menutup sayap hitamku yang besar supaya tidak kelihatan ketika aku mendengar suara langkah seseorang memasuki taman itu. Tapi mengapa aku hanya mendengar suara langkah satu orang? Apa yang terjadi pada yang lainnya?

Ketika aku menengok ke bawah, yang kulihat hanyalah sekelebat warna hijau tua, dan detik berikutnya aku saling berpandangan dengan sepasang mata berwarna merah darah. Meskipun warnanya merah darah, kedua mata itu tidak terlihat kejam maupun tanpa ampun. Kedua mata itu malah terlihat sedih dan… simpatik?

“Turunlah, Death,” bisiknya sambil melihat ke arahku. Air mukanya berubah menjadi lebih sedih lagi.

Aku mengembangkan sayapku, dan terbang turun dari tempatku duduk, dan mendarat tepat di depan anak itu, menyiapkan sabitku agar aku bisa langsung membunuhnya bila ia berusaha melakukan hal yang aneh-aneh.

Ketika aku mengarahkan ujung sabitku ke arahnya, ia bukannya merasa takut. Ia malah tersenyum ke arahku.

“Kau memerlukan jiwa malaikat ‘kan?” tanyanya dengan santai. “Akan kuberikan nyawaku, tapi sebagai gantinya, jangan ambil jiwa murid-murid SMU itu,”

Aku terkejut sesaat mendengar permintaannya. Memangnya dia pikir dia siapa, bisa seenaknya menyuruh-nyuruhku seperti itu? Yang membuatku terkejut juga adalah kenyataan bahwa dia mendengar pembicaraanku dengan Dread di telepon tadi.

“Mengapa?”

Pertanyaan yang amat klise namun mempunyai banyak sekali makna terlontar dari mulutku. Dengan tenang ia balas memperhatikanku yang memperhatikannya dengan setengah melotot. Ia tidak tampak takut mati.

“Karena bila mereka mati, pasti ada yang menangisi mereka dan mengkhawatirkan mereka, tapi bila aku mati tidak ada yang akan mengkhawatirkanku,” jelasnya sambil memaksakan sebuah senyum ke arahku.

Aku benci orang-orang seperti dia. Dread juga sama. Mengapa mereka tidak bisa jujur pada keinginan mereka sendiri!?

Aku mendekatkan ujung sabitku ke lehernya, dan menghentikan ujung sabitnya tepat di sebelah urat nadi yang ada di lehernya. “Apa kamu yakin?”

Ia tersenyum, dan menganggukkan kepalanya. “Lagipula, bila ini bisa membantumu dan Dread, aku akan dengan senang hati melakukannya…” ujarnya pelan, “Karena Dread adalah satu-satunya orang yang pernah memperhatikanku, dan kamu adalah satu-satunya orang yang masih menjawab ketika kusapa,”

Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku hanya menjawab sapaannya dengan satu kata, dan itu pun diucapkan dengan amat kasar, tapi ia mau mengorbankan nyawanya demi aku?

“Baik, kalau itu memang yang kaumau,” gumamku. Ia tersenyum dan mengangguk ke arahku. Aku menurunkan sabitku, dan mulai membaca sebuah mantera. Mantera tradisional para Soul Reaper yang digunakan para Soul Reaper untuk mencabut nyawa orang yang mereka sayangi, dan tidak mau mereka bunuh.

Perlahan-lahan, roh anak itu mulai meninggalkan tubuhnya, melayang-layang di atas tubuhnya yang kini tergeletak di atas tanah di tengah-tengah taman itu. Rohnya terhubung dengan tubuhnya dengan sehelai benang tipis berwarna putih yang hanya bisa diputuskan oleh sabit dewa kematian atau Soul Reaper.

Rohnya masih sempat tersenyum ke arahku bahkan ketika aku mengayunkan sabitku. Roh yang jiwanya diambil untuk persembahan tidak akan bisa pergi ke alam sana, dan mereka akan menghilang begitu saja. Benang itu terputus, dan rohnya menghilang ke tempat persembahan.

Aku berdiri menatap tubuhnya yang terbaring tidak bernyawa di atas tanah. Tiba-tiba saja, beberapa tetes air berjatuhan ke atas tanah dan pandanganku mengabur. Aku mengangkat tangan kiriku dan mengusap mataku, merasakan sesuatu yang basah dan hangat.

Tiba-tiba saja, sebuah tangan menepuk pundakku. Aku tahu siapa itu. Aku mengenal semua aspek Dread seperti aku mengenal diriku sendiri, dan hanya merasakan keberadaannya di belakangku saja sudah bisa membuatku mengetahui bahwa itu dia yang berdiri di belakangku.

“Death, maaf aku telah membuatmu melakukan sesuatu yang amat sulit. Seharusnya aku melakukan ini sendiri,”

Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak. Tadi ia berkata bahwa kamu adalah satu-satunya orang yang pernah peduli padanya. Bila membunuhnya sudah amat susah seperti ini bagiku, apalagi bagi kamu yang sempat peduli padanya?”

Aku bisa merasakan senyum Dread meskipun aku tidak bisa melihatnya. Ia menepuk pundakku sekali lagi. “Ayo kita pulang,”

Aku mengangguk, dan berbalik mengikuti Dread menuju gerbang sementara yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia para Soul Reaper. Aku menoleh ke belakang sekali lagi untuk memastikan bahwa mayat anak itu masih ada di situ, dan kemudian menghentikan langkahku.

“Hei Dread,”

“Ya?”

“Sejak kapan aku menjadi ‘No One’?”